Papers by atika saraswati
CSR discourse (Corporate Social Responsibility) emerged as an effort to built corporate responsib... more CSR discourse (Corporate Social Responsibility) emerged as an effort to built corporate responsibility to the social neighborhood. Accidentally temporal CSR practices rise the stereotype and skepticism of its worked by some ecologists. This paper attempts to reposition CSR in Indonesia as the scutum protecting entity of corporate exploitation. Through an ecopolitical study inspired by Piers Blake's work and concludes with the ethics of care developed by Carol Gilligan, this paper extend the interpretation of CSR as a ‘zoon politicon’ that demands the transformation of its role and practices in symbiotic mutualism with their neighborhood.
Summary Kuliah Online, 2020
"Kami sudah baca tulis tapi kenapa hutan masih habis juga?"
Pertanyaan dari murid sokola ini men... more "Kami sudah baca tulis tapi kenapa hutan masih habis juga?"
Pertanyaan dari murid sokola ini menjadi titik balik Sokola untuk mengembangkan metode pendidikan yang bisa membantu orang rimba mengatasi permasalahan kesehariannya sendiri. Pendidikan Kontekstual yang meramu cara untuk berpihak, hadap masalah dan kritis.
Pembelajaran Jarak Jauh Berbasis Komunitas, 2020
Sejak praktik Pembelajaran Jarak Jauh diterapkan 24 Maret 2020, selama lima bulan terakhir, keluh... more Sejak praktik Pembelajaran Jarak Jauh diterapkan 24 Maret 2020, selama lima bulan terakhir, keluhan tentang ‘mahalnya’ biaya kuota internet untuk pembelajaran daring, gap teknologi di beberapa daerah, serta banyaknya tugas/PR yang diberikan adalah permasalahan yang dihadapi dan tak kunjung ada solusi. Pengelolaan dilema yang dihadapi masyarakat merespon Pembelajaran Jarak Jauh perlu ditangkap dan dikelola dengan baik untuk memastikan tak ada yang terpinggirkan dan ditinggalkan dalam Proses Pembelajaran Jarak Jauh.

This paper aims to offer an alternative way to root out corruption from the ideological perspecti... more This paper aims to offer an alternative way to root out corruption from the ideological perspective. Corruption comes from greed logical reasoning. As Althuser said we need a reproduction to produce some knowledge, against corruption needs a new knowledge to produce. Based on this perspective another perspective as an anthithesis of logical reasoning in corruption needs to produce as a counter hegemony. Kinanthi, the recited java poetry offer the value to root out the greed logical reasoning in corruption. The logic in Kinanthi involve a body practice to buck for self control. Kinanthi contain a practical progressive discipline in reducing eating and sleeping. The question then is How able the self control strategy in Kinanthi against the corruption? In crafting the strategy, this paper try to use the archeology of knowledge from Michael Foucoult for analysing the discourse. Then, the instrument to practice the self control in Kinanthi play upon the concept of Ideological State Apparathus by Althusser.
Kampung Sekolah adalah inisiasi pembuatan role model sekolah bagi anak-anak usia 7-15 tahun dikaw... more Kampung Sekolah adalah inisiasi pembuatan role model sekolah bagi anak-anak usia 7-15 tahun dikawasan terpencil Indonesia dengan kurikulum yang dirancang khusus dan terorganisir dengan menyesuaikan potensi dan kekayaan alam daerah setempat. Proses belajar mengajar akan dititik beratkan pada pelajaran membaca, menulis, berhitung dan ketrampilan. Kampung Sekolah menawarkan sebuah bentuk sekolah dengan metode pembelajaran outdoor yang diorganisir dengan baik dalam sebuah kurikulum yang berdasar pada Kampung Sekolah guideline books. Guideline books ini akan berbeda-beda dari satu kawasan dengan kawasan lain berdasarkan assessment awal yang dilakukan.

MDGs merupakan deklarasi pembangunan PBB yang mengemukakan 8 Tujuan Pembangunan Millennium yang h... more MDGs merupakan deklarasi pembangunan PBB yang mengemukakan 8 Tujuan Pembangunan Millennium yang harus dicapai tahun 2015 oleh 189 negara termasuk Indonesia. Salah satu tujuan MDGs adalah mencapai pendidikan dasar untuk semua yang diwujudkan melalui Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Hasil evaluasi menunjukkan Wajar Dikdas dari segi pemerataan belum merata dan memenuhi target yang ditetapkan, pembangunan hanya ditujukan untuk mencapai angka kuantitatif dan menyebabkan kesenjangan kualitas dan arah kebijakan menjadi tidak jelas. Pendidikan dasar dimaknai masyarakat dalam 2 pandangan: penting dan tidak penting. Penting karena peran sekolah sebagai human capital, sharing knowledge dan sosialisasi diri. Tidak penting karena sekolah tidak mampu membuat anak mandiri. Faktor penyebab anak tidak sekolah, ditinjau dari individu anak: ekonomi keluarga, lingkungan, psikologis, keadaan fisik, prestasi akademik. Dari segi sekolah: biaya pendidikan, kualitas tenaga pendidik. Langkah strategis yang disarankan guna mencapai MDGs tahun 2015, formulasi kebijakan, menggunakan gabungan model Teori Pilihan Publik, Teori Sistem dan Teori Deliberatif, sosialisasi kebijakan, meningkatkan efisiensi kelembagaan, rehabilitasi sarana dan prasarana pendidikan, meningkatkan kesejahteraan dan kemampuan guru. Strategi dalam menjangkau kelompok tertentu: sekolah alam anak jalanan, sekolah murah anak berkebutuhan khusus, beasiswa dan pemberdayaan orang tua anak yang tidak mampu dengan kerjasama antar dinas terkait.

Apa yang menarik dari Banten akhir-akhir ini adalah terbongkarnya jaringan gurita politik yang di... more Apa yang menarik dari Banten akhir-akhir ini adalah terbongkarnya jaringan gurita politik yang dibangun oleh sebuah dinasti yang kuat yang sejak lama hanya menjadi desas-desus. Antara dipercaya dan tidak. Ada keberanian yang dipertaruhkan disana, ada pertarungan keadilan bagi mereka yang merasa terjajah. Memahami Banten kini tentu tak bisa luput dengan melihat Banten dulu. Banten adalah salah satu daerah yang kaya dengan dinamika kelompoknya, dengan para Jago sebagai kelompok yang menonjol. Para Jago atau pada umumnya dikenal sebagai Jawara, adalah kelompok yang mengada sejak lama dan terus menerus mengalami pergeseran recognisi dari masyarakat dari masa ke masa. Jawara pada masa pra kolonial adalah pelindung masyarakat bersama para Kyai dan santri. Jawara pada masa kolonial adalah kawan bagi mereka yang terjajah hingga mereka dipecah belah dan dicitrakan sebagai tukang bacok, tukang tarok dan citra penjahat lainnya. (Tihami, 2001) Pencitraan negatif ini terus terbawa hingga abad ke-20 dan justru semakin dikukuhkan oleh para anggotanya sendiri. Jawara yang sejak dulu dikenal memiliki ilmu olah fisik dan kekebalan, menjadi sosok yang tak lagi disegani tetapi ditakuti dan lebih jauh dibenci. Jawara mulai menjadi kekuatan hegemonik sejak pemerintah orde baru melakukan politik akomodasi terhadap jawara. Tahun 1971 diadakan kongres para jawara yang hasilnya terbentuknya organisasi SK Jawara, yang dipimpin oleh seorang tokoh, yaitu Abah. Kemudian tahun 1973 untuk meminimalisir citra negatif yang terlanjur terbentuk dimasyarakat, terminologi pendekar diperkenalkan untuk mengganti jawara. Organisasi pun berubah menjadi PB dengan mottonya: " bela diri, bela bangsa dan bela negara. " Abah dalam hal ini Chasan adalah ketua yang dianggap sangat berpengaruh karena dia dianggap memiliki segenap ciri seorang 'jawara'. Berlatar belakang pesantren, memiliki keberanian dan kekuatan yang menonjol diantara teman-temannya dan belajar menjadi pengusaha sedari muda. Chasan sendiri memilik banyak posisi penting diwilayah Banten. Kemunculan 'Local Strongmen' menurut Migdal disebabkan oleh tiga faktor sebagai berikut: Pertama, Local Strongmen tumbuh subur di dalam masyarakat " mirip jaringan " yang digambarkan sebagai " sekumpulan campuran (melange) organisasi-organisasi sosial nyaris mandiri " dengan kontrol sosial yang efektif " terpecah-pecah ". Pola kontrol sosial khusus terpecah-pecah ini, menurut dugaan, acapkali diakui melebur dalam pemerintahan kolonial dan penyatuannya di dalam perkuburan kelas-kelas pemilik tanah besar. Singkat kata, berkat struktur masyarakat mirip jaringan, Local Strongmen memperoleh
Selama ini, keadilan seperti apakah yang dituntut? Benarkah setelah keadilan itu terpenuhi, relas... more Selama ini, keadilan seperti apakah yang dituntut? Benarkah setelah keadilan itu terpenuhi, relasi menjadi setara dan banalitas hilang? Atau jangan-jangan, ia hanya mewujud dalam bentuk yang lain?
Ketika membahas keadilan sosial, biasanya kita megacu pada perbincangan yang sangat filosofis dan pengalaman orang di masa lalu yang hidup di negeri yang sangat jauh. Perbincangan tentang hal itu berangkat dari dunia ideal, dari abstraksi filosofis, bukan dari realita yang kita hadapi dalam keseharian kehidupan. Rujukan yang utama, tentunya pengalaman imperium Romawi, yang lambang keadilannya masih digunakan di negara kita, Iustitia, sang dewi keadilan. Dan konsep-konsep keadilan para pemikir Barat, mulai dari Rawls sampai Habermas, dari yang libertarian, komunitarian sampai yang diskursif. Keadilannya, ditekuni sebagai idealitas, bukan sebagai realita.
“Nothing is more crucially important today that the kind of humanistic education that enables peo... more “Nothing is more crucially important today that the kind of humanistic education that enables people to sense the reality of interconnectedness, to appreciate the infinite potential in each person life, and to cultivate the dormant human potential to the fullest.”
Source: Ikeda, D. (2011)
In this paper i will draw about how humanistic education can help people to survive in his life. My arguments are based on the Socrates Story and Abraham Maslow-Carl Rogers theory, the father of Humanistic Psychology.
Gaung CSR mulai terdengar sejak dilakukannya kesepatakan dalam World Summit in Sustainable Develo... more Gaung CSR mulai terdengar sejak dilakukannya kesepatakan dalam World Summit in Sustainable Development (WS-SD) di Johannesburg Afrika Selatan.
"There is no inner man, man is in the world, and only in the world does he know himself."
Uploads
Papers by atika saraswati
Pertanyaan dari murid sokola ini menjadi titik balik Sokola untuk mengembangkan metode pendidikan yang bisa membantu orang rimba mengatasi permasalahan kesehariannya sendiri. Pendidikan Kontekstual yang meramu cara untuk berpihak, hadap masalah dan kritis.
Ketika membahas keadilan sosial, biasanya kita megacu pada perbincangan yang sangat filosofis dan pengalaman orang di masa lalu yang hidup di negeri yang sangat jauh. Perbincangan tentang hal itu berangkat dari dunia ideal, dari abstraksi filosofis, bukan dari realita yang kita hadapi dalam keseharian kehidupan. Rujukan yang utama, tentunya pengalaman imperium Romawi, yang lambang keadilannya masih digunakan di negara kita, Iustitia, sang dewi keadilan. Dan konsep-konsep keadilan para pemikir Barat, mulai dari Rawls sampai Habermas, dari yang libertarian, komunitarian sampai yang diskursif. Keadilannya, ditekuni sebagai idealitas, bukan sebagai realita.
Source: Ikeda, D. (2011)
In this paper i will draw about how humanistic education can help people to survive in his life. My arguments are based on the Socrates Story and Abraham Maslow-Carl Rogers theory, the father of Humanistic Psychology.
Pertanyaan dari murid sokola ini menjadi titik balik Sokola untuk mengembangkan metode pendidikan yang bisa membantu orang rimba mengatasi permasalahan kesehariannya sendiri. Pendidikan Kontekstual yang meramu cara untuk berpihak, hadap masalah dan kritis.
Ketika membahas keadilan sosial, biasanya kita megacu pada perbincangan yang sangat filosofis dan pengalaman orang di masa lalu yang hidup di negeri yang sangat jauh. Perbincangan tentang hal itu berangkat dari dunia ideal, dari abstraksi filosofis, bukan dari realita yang kita hadapi dalam keseharian kehidupan. Rujukan yang utama, tentunya pengalaman imperium Romawi, yang lambang keadilannya masih digunakan di negara kita, Iustitia, sang dewi keadilan. Dan konsep-konsep keadilan para pemikir Barat, mulai dari Rawls sampai Habermas, dari yang libertarian, komunitarian sampai yang diskursif. Keadilannya, ditekuni sebagai idealitas, bukan sebagai realita.
Source: Ikeda, D. (2011)
In this paper i will draw about how humanistic education can help people to survive in his life. My arguments are based on the Socrates Story and Abraham Maslow-Carl Rogers theory, the father of Humanistic Psychology.