Papers by gumilar irfanullah

Abstrack In some phases of history of relations between religious communities, there was a harmon... more Abstrack In some phases of history of relations between religious communities, there was a harmonious relationship and coexistence between Muslims and Jewish and also Christians. History recorded a relatifely harmonious relationship and merely productife especially in most Western part of Muslim world, al-Andalus. This paper attends to display the history of religious life that led to the peace, and thus it is importance to show cultivate messages of peace and tolerance in religious communitees. This paper presents data form History that was processed through historical analysys and generates an interesting conclusion, that religious diversity and beliefs, does not hinder people of different religions to practice each other live in harmony side by side, even work together to create a cultural creatifity in the field of art, science and literature. The result of study can serve as a comparison and a healing for conflict resolution which involves religion in it, like what happens between Israelits Jeiwsh and Palestinians Muslim. Abstrak Dalam beberapa fase sejarah hubungan antar pemeluk agama, terdapat hubungan harmonis dan co-existance antara pemeluk agama Islam dan pemeluk Yahudi juga Kristen. Rekam sejarah adanya hubungan yang relatife harmonis dan produktif tersebut khususnya terdapat di belahan dunia Islam klasik bagian Barat, al-Andalus. Tulisan ini ingin menampilkan kembali serpihan sejarah kehidupan beragama yang damai dan membuahkan tersebut, karena pentingnya untuk menumbuhkan pesan-pesan damai dan toleran di antara pemeluk agama sekarang ini. Tulisan ini menyajikan data sejarah yang diolah melalui analisis sejarah dan menghasilkan kesimpulan yang menarik, bahwa perbedaan agama dan cara pandang dalam berkeyakinan, tidak menghalangi para pemeluk agama yang berbeda untuk saling hidup rukun berdampingan, bahkan bekerja sama menciptakan budaya kreatif dan produktif di bidang seni, pengetahuan dan kesusastraan. Data dari kajian ini bisa disajikan sebagai pembanding dan bahan renungan bagi penyelesaian konflik yang melibatkan agama di dalamnya, seperti yang terjadi antara warga Israel yang beragama Yahudi, dan warga Palestina yang beragama Islam.

Orientalism is a 1978 book by Edward W. Said, in which Said studies the cultural representations ... more Orientalism is a 1978 book by Edward W. Said, in which Said studies the cultural representations that are the bases of Orientalism, the West's patronizing perceptions and fictional depictions of "The East" — the societies and peoples who inhabit the places of Asia, North Africa, and the Middle East. Orientalism, the Western scholarship about the Eastern World, was and remains inextricably tied to the imperialist societies who produced it, which makes much Orientalist work inherently political and servile to power, and thus intellectually suspect. Orientalism is the exaggeration of difference, the presumption of Western superiority, and the application of clichéd analytical models for perceiving the Oriental world. As such, Orientalism is the source of the inaccurate, cultural representations that are the foundations of Western thought and perception of the Eastern world, specifically about the region of the Middle East. The principal characteristic of Orientalism is a " subtle and persistent Eurocentric prejudice against Arab–Islamic peoples and their culture " , which prejudice derives from Western images of what is Oriental (cultural representations) that reduce the Orient to the fictional essences of " Oriental peoples " and " the places of the Orient " ; such cultural representations dominate the communications (discourse) of Western peoples with non–Western peoples. Orientalism proposes that much of the Western study of Islamic civilization was an exercise in political intellectualism; a psychological exercise in the self-affirmation of " European identity " ; not an objective exercise of intellectual enquiry and the academic study of Eastern cultures. Therefore, Orientalism was a method of practical and cultural discrimination that was applied to non-European societies and peoples in order to establish European imperial domination.

This writing is a proposal of a dialogue model for interreligious interests, in which it stresses... more This writing is a proposal of a dialogue model for interreligious interests, in which it stresses on communication without neglecting a faith of each religion, and at the same time it does not leave the faith itself. It is a Sufis dialog, which no longer views that some beleiver's faith is not flexible, but it is seen as a means to build an open communication, in which thence it can create a format of dialog which contributes enhancement and goodness for living together in between human beings. Therefore, this article also offers a dialogue methodology, which is the most ideal, i.e. spiritual dialog which bestows universal Sufis values that embrace all kinds of beliefs and faiths.
Abstrak: Tulisan ini merupakan sebuah tawaran model dialog antar agama yang menekankan pada bagaimana komunikasi dilakukan dengan tidak mengabaikan keimanan masing-masing, sekaligus tidak meninggalkan keimanan sendiri. Dialog sufistik tidak lagi memandang keyakinan penganut agama tertentu sebagai sesuatu yang kaku, ia dilihat sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk merajut komunikasi yang terbuka sehingga melahirkan bentuk dialog yang akan berkontribusi pada kemajuan dan kemaslahatan bersama. Selain menjabarkan aturan ketika antar agama bertemu dan menciptakan adanya dialog, tulisan ini juga membahas metodologi dialog, urgensinya dan bentuknya, yang bagi penulis adalah paling ideal, yaitu dialog spiritual yang mengedepankan nilai-nilai sufistik universal yang merangkul semua bentuk keimanan dan kepercayaan. Dialog spiritual mencoba untuk menghilangkan sekat-sekat klaim eksklusifistik yang dianut sebagian kaum beragama, menawarkan bentuk penghayatan keimanan yang melintas dan menyelam ke dalam agama-agama lain, tanpa kehilangan identitas keyakinan sendiri. Dialog spiritual diharapkan tidak saja mampu untuk menciptakan dialog yang diisi oleh nuansa keadamaian, tetapi juga mampu mendorong setiap pelaku dialog untuk menggali kekayaan tradisi agama lain sehingga memerkaya dan menyegarkan keimanannya sendiri.
Uploads
Papers by gumilar irfanullah
Abstrak: Tulisan ini merupakan sebuah tawaran model dialog antar agama yang menekankan pada bagaimana komunikasi dilakukan dengan tidak mengabaikan keimanan masing-masing, sekaligus tidak meninggalkan keimanan sendiri. Dialog sufistik tidak lagi memandang keyakinan penganut agama tertentu sebagai sesuatu yang kaku, ia dilihat sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk merajut komunikasi yang terbuka sehingga melahirkan bentuk dialog yang akan berkontribusi pada kemajuan dan kemaslahatan bersama. Selain menjabarkan aturan ketika antar agama bertemu dan menciptakan adanya dialog, tulisan ini juga membahas metodologi dialog, urgensinya dan bentuknya, yang bagi penulis adalah paling ideal, yaitu dialog spiritual yang mengedepankan nilai-nilai sufistik universal yang merangkul semua bentuk keimanan dan kepercayaan. Dialog spiritual mencoba untuk menghilangkan sekat-sekat klaim eksklusifistik yang dianut sebagian kaum beragama, menawarkan bentuk penghayatan keimanan yang melintas dan menyelam ke dalam agama-agama lain, tanpa kehilangan identitas keyakinan sendiri. Dialog spiritual diharapkan tidak saja mampu untuk menciptakan dialog yang diisi oleh nuansa keadamaian, tetapi juga mampu mendorong setiap pelaku dialog untuk menggali kekayaan tradisi agama lain sehingga memerkaya dan menyegarkan keimanannya sendiri.
Abstrak: Tulisan ini merupakan sebuah tawaran model dialog antar agama yang menekankan pada bagaimana komunikasi dilakukan dengan tidak mengabaikan keimanan masing-masing, sekaligus tidak meninggalkan keimanan sendiri. Dialog sufistik tidak lagi memandang keyakinan penganut agama tertentu sebagai sesuatu yang kaku, ia dilihat sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk merajut komunikasi yang terbuka sehingga melahirkan bentuk dialog yang akan berkontribusi pada kemajuan dan kemaslahatan bersama. Selain menjabarkan aturan ketika antar agama bertemu dan menciptakan adanya dialog, tulisan ini juga membahas metodologi dialog, urgensinya dan bentuknya, yang bagi penulis adalah paling ideal, yaitu dialog spiritual yang mengedepankan nilai-nilai sufistik universal yang merangkul semua bentuk keimanan dan kepercayaan. Dialog spiritual mencoba untuk menghilangkan sekat-sekat klaim eksklusifistik yang dianut sebagian kaum beragama, menawarkan bentuk penghayatan keimanan yang melintas dan menyelam ke dalam agama-agama lain, tanpa kehilangan identitas keyakinan sendiri. Dialog spiritual diharapkan tidak saja mampu untuk menciptakan dialog yang diisi oleh nuansa keadamaian, tetapi juga mampu mendorong setiap pelaku dialog untuk menggali kekayaan tradisi agama lain sehingga memerkaya dan menyegarkan keimanannya sendiri.