Papers by Jacob Baradaeus

Akibat gaung “Sola Sciptura” (“hanya Alkitab saja”) yang melenggang bebas dikalangan anak-anak Tu... more Akibat gaung “Sola Sciptura” (“hanya Alkitab saja”) yang melenggang bebas dikalangan anak-anak Tuhan, beberapa dari kita ber-anggapan bahwa pada masa-masa kekristenan awal sudah terbentuk satu kitab yang disebut sebagai “Perjanjian Baru” secara distingtif. Pemikiran ini sedianya memandu orang untuk beranggapan bahwa di era mula-mula tersebut, keotentikan iman orang percaya ditentukan dari pesan-pesan Ilahi dalam huruf-huruf Kitab Suci. Oleh karena itu, memahami bagaimana Kitab Suci terbentuk sangatlah penting dalam meluruskan sebuah Vonveständnis (Pra-Pemahaman) dari beberapa anak Tuhan.
Dilain pihak, dalam sejumlah besar sekolah-sekolah Alkitab, pembahasan mengenai Kitab Suci berada di posisi yang sangat penting – karena seluruh doktrin iman Kristen bersumber sepenuhnya dari Alkitab. Menyadari hal ini, banyak pihak berupaya untuk merendahkan kewibawaan Alkitab. Mereka menuduh bahwa kanon Perjanjian Baru terbentuk tak lebih dari sebuah kepentingan politik Kaisar Konstantin pada sidang Nikea 325 M, ada juga anggapan yang memustahilkan bahwa kitab-kitab Injil ditulis oleh para saksi mata – sebab menurut pandangan tersebut, para murid Yesus bukanlah orang yang terpelajar, jenjang akademis yang tidak memadai dari para murid itulah yang bersebrangan dengan fakta bahwa keseluruhan Perjanjian Baru dituliskan oleh orang-orang terpelajar dalam bahasa Yunani. Senada dengan itu, ketika kanon Perjanjian Baru di-inisiasi, ada asumsi bahwa terdapat persamaan mutu, dan keotentikan antara dokumen-dokumen kanonik dengan tulisan apokrif Perjanjian Baru. Berdasarkan asumsi ini, ditariklah kesimpulan bahwa penentuan tentang masuk atau tidaknya suatu bagian di dalam kanon Perjanjian Baru adalah semata-mata diukur dari perspektif untung atau tidaknya ortodoksi Gereja.
Akibatnya, kanon Perjanjian Baru hanya dipandang sebagai sebuah karangan belaka yang mengandung banyak kesalahan, dan kekeliruan karena “dengan sengaja” dibentuk oleh manusia. Sehingga dalam hal ini, manusia-lah yang menjadi “tuan” atas tulisan-tulisan yang dianggap suci tersebut. Lebih-lebih beberapa pihak tersebut menyitir statement James Barr yang menyebut bahwa “Yesus dalam pengajaran-Nya tidak pernah tampil memerintahkan atau bahkan menyetujui penulisan Perjanjian Baru”, juga Yesus dan murid-murid-Nya belum “mempunyai pandangan yang kuat dan tajam atas kitab-kitab apa yang harus dianggap sebagai Kitab Suci”. Dengan kata lain, ide akan kanon tidak ada dalam benak Kekristenan mula-mula, sebab kala itu Gereja lebih condong dalam pemberitaan lisan (oral tradition) – ketimbang naskah tertulis, juga legitimasi Perjanjian Baru sebagai Kitab Suci merupakan legitimasi pada masa-masa belakangan.
Kurt Aland benar, ketika ia mengakui permasalahan pokok yang tak terelakkan mengenai kanon: “Pertanyaan mengenai kanon akan menciptakan jalan menuju pusat perdebatan teologis dan gerejawi ... (karena) pertanyaan ini tidak hanya dihadapi oleh para sarjana Perjanjian Baru, melainkan setiap teolog Kristen.” Meskipun demikian, betapapun “anehnya” sebuah pemikiran yang timbul, dia harus direspon dengan penelitian dan pemikiran pula. Karena, ragam pertanyaan yang disematkan kepada Gereja sangat penting agar riset dan ikhtiar intelektual tidak berjalan ditempat yang sunyi. Karena dengan adanya dielekta antara “Kita” dengan “Mereka”, kebenaran yang sejati akan benar-benar terungkap dengan sebaik-sebaiknya. Sebab, sudah berabad-abad lamanya Perjanjian Baru dipandang sebagai kitab yang berwibawa, dan disini – bukan kewibawaan itu yang dibuktikan, melainkan keragu-raguan atas kewibawaan itulah yang harus diuji.
Dan melalui tulisan ini, kendatipun tidak pernah ditampik bahwa sebagai sebuah ikhtiar intelektual, masih banyak kekurangan disana-sini. Sebab sebagai sebuah rekonstruksi, pada satu pihak kita diperhadapkan pada data-data fragmentaris dari masa-masa klasik yang dimulai di abad pertama masehi kekristenan, dan dipihak lain berbagai penafsiran dan hipotesa diberlakukan untuk memahami data-data yang ada tersebut. Selamat membaca !!!

Di kesempatan pada kali ini wa bil khusus akan dibahas kisah Paulus di Athena, dimana kita bisa m... more Di kesempatan pada kali ini wa bil khusus akan dibahas kisah Paulus di Athena, dimana kita bisa memetik pelajaran dari perjalanan misi dari Rasul Paulus ketika beliau berada di Athena Yunani, kota dengan "1001" Para Philosophos yang sangat terbiasa dengan alam berfikir filosofis. Perjalanan misi Paulus ini dicatat oleh Lukas dalam Kisah Para Rasul 17:16-23. Matius mencatat Amanat Agung (Arab: Al-Irsaliyyat al-Kubra -Mat. 28:19-20) dari Al-Masih sebelum Dia mihrab ke Sorga -Al-Masih berkata: "... Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu, pergilah JADIKANLAH SEMUA BANGSA (Yun: Panta ta Ethne) murid-Ku, dan baptikanlah mereka dalam nama Bapa, dan Putra dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertaimu senantiasa sampai kepada akhir zaman. Oleh karena itu dalam konteks perkabaran kabar baik di Indonesia kita harus memahami bahwa dakwah agama apa saja kenyataannya selalu berhadapan dengan persoalan salingsilang budaya "Cross Cultural Misison". Hal ini rupanya pernah dialami oleh Rasul Paulus kala itu. Hal ini sebagaimana di laporkan oleh Lukas di dalam Kisah Para Rasul 17:16-23, disana dikisahkan kala itu Paulus sedang berada di Athena, dan Paulus "sangat sedih hatinya karena ia melihat bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala" -ayat 16. Athena adalah negeri dimana masyarakatnya kala itu sangatlah politeis, disanalah Paulus menemukan satu cela bagaimana ia harus mewartakan Injil Kerajaan Allah, dan bagaimana ia harus mengawali dakwahnya.
Dalam pusara sejarahnya, Islam merupakan satu agama yang terlahir sesudah agama Yahudi dan Kriste... more Dalam pusara sejarahnya, Islam merupakan satu agama yang terlahir sesudah agama Yahudi dan Kristen. Islam muncul dari latar belakang budaya Jazirah Arab. Kemunculan Islam ini memang menampakkan continuity "keterhubungan" di satu pihak dan discontinuity "keterputusan" di pihak lain dengan agama-agama rumpun Ibrahim sebelumnya -Yahudi dan Kristen. 1 Juga dalam perkembangannya di luar Jazirah Arab telah banyak menjelajahi daerah dan juga menemui budaya Yunani Hellenis, yang tentu saja Kekristenan terlebih dahulu berjumpa dengan alam berpikir filosofis dari dunia Hellenis Yunani tersebut.

Dari eranya terdini ketika iman Kristen terlahir sudah ditantang menghadapi pandangan-pandangan f... more Dari eranya terdini ketika iman Kristen terlahir sudah ditantang menghadapi pandangan-pandangan filsafat Yunani, dan berusaha meragikan pesan-pesan kabar baik diantara dua pandangan dunia yang cukup berbeda itu. Disatu pihak kekristetan mengakar pada mentalitas semitik yang menghendaki tanda-tanda (1 Kor. 1:22), tetapi berbarengan dengan itu kekristenan ditantang untuk menjawab akal budi dari Yunani yang sophia zetousin (1 Kor. 1:22 ‘mengejar sophos’ – ‘kebijaksanaan’). Pemikiran Yunani inilah yang berjalan melakukan safari kesana kemari yang secara leluasa dan tanpa bernada curiga telah diterima dengan baik oleh kelompok heretik Gnostik-Docetisme-Arianisme.
Pendekatan yang dipakai kali ini adalah satu pendekatan falsafati, dan kita akan melakukan perjalanan menikmati alur demi alur mulai dari Plato hingga Saksi Yehuwa, bagaimana pandangan mereka, dan bagaimana pandangan Alkitab. Todah Rabah !!! Terima Kasih !!! ~ Merdeka ~

Di era ini banyak sekali bermunculan politisasi dan formalisasi agama, dan ini merupakan suatu la... more Di era ini banyak sekali bermunculan politisasi dan formalisasi agama, dan ini merupakan suatu langkah mundur, karena masalah tersebut justru telah dirampungkan oleh Bung Karno dan generasinya ketika bangsa ini memilih azas ideologi Kebangsaan. Di Indonesia sekarang ini, kita sudah terbiasa dengan suguhan “Imprealisme Doktriner” yang ingin memutlakkan satu Hukum suatu agama kepada pihak lain, dan hal ini mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara kita sebagai Bangsa Indonesia. Melalui tulisan ini kita akan sama-sama belajar dari seorang tokoh besar Republik ini, yakni Bung Karno sebagai Sang Proklamator. Kita bisa menimba banyak khazanah pemikiran dari seorang Soekarno sebagai Founding Father bangsa kita ini. Menyelami pemikiran-pemikirannya yang mampu melakukan “Passing Over” – “Melintas Batas” terhadap agama-agama yang lain yang sangat bersifat “Religiusme Semesta” itu. Karya dan sumbangsih Bung Karno yang tidak bisa dipungkiri adalah Pancasila sebagai dasar negara dan Philosofische Grondslag (Pondamen Filosofis) yang menjamin kemajemukan Bangsa Indonesia, termasuk kemajemukan agama-agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Uploads
Papers by Jacob Baradaeus
Dilain pihak, dalam sejumlah besar sekolah-sekolah Alkitab, pembahasan mengenai Kitab Suci berada di posisi yang sangat penting – karena seluruh doktrin iman Kristen bersumber sepenuhnya dari Alkitab. Menyadari hal ini, banyak pihak berupaya untuk merendahkan kewibawaan Alkitab. Mereka menuduh bahwa kanon Perjanjian Baru terbentuk tak lebih dari sebuah kepentingan politik Kaisar Konstantin pada sidang Nikea 325 M, ada juga anggapan yang memustahilkan bahwa kitab-kitab Injil ditulis oleh para saksi mata – sebab menurut pandangan tersebut, para murid Yesus bukanlah orang yang terpelajar, jenjang akademis yang tidak memadai dari para murid itulah yang bersebrangan dengan fakta bahwa keseluruhan Perjanjian Baru dituliskan oleh orang-orang terpelajar dalam bahasa Yunani. Senada dengan itu, ketika kanon Perjanjian Baru di-inisiasi, ada asumsi bahwa terdapat persamaan mutu, dan keotentikan antara dokumen-dokumen kanonik dengan tulisan apokrif Perjanjian Baru. Berdasarkan asumsi ini, ditariklah kesimpulan bahwa penentuan tentang masuk atau tidaknya suatu bagian di dalam kanon Perjanjian Baru adalah semata-mata diukur dari perspektif untung atau tidaknya ortodoksi Gereja.
Akibatnya, kanon Perjanjian Baru hanya dipandang sebagai sebuah karangan belaka yang mengandung banyak kesalahan, dan kekeliruan karena “dengan sengaja” dibentuk oleh manusia. Sehingga dalam hal ini, manusia-lah yang menjadi “tuan” atas tulisan-tulisan yang dianggap suci tersebut. Lebih-lebih beberapa pihak tersebut menyitir statement James Barr yang menyebut bahwa “Yesus dalam pengajaran-Nya tidak pernah tampil memerintahkan atau bahkan menyetujui penulisan Perjanjian Baru”, juga Yesus dan murid-murid-Nya belum “mempunyai pandangan yang kuat dan tajam atas kitab-kitab apa yang harus dianggap sebagai Kitab Suci”. Dengan kata lain, ide akan kanon tidak ada dalam benak Kekristenan mula-mula, sebab kala itu Gereja lebih condong dalam pemberitaan lisan (oral tradition) – ketimbang naskah tertulis, juga legitimasi Perjanjian Baru sebagai Kitab Suci merupakan legitimasi pada masa-masa belakangan.
Kurt Aland benar, ketika ia mengakui permasalahan pokok yang tak terelakkan mengenai kanon: “Pertanyaan mengenai kanon akan menciptakan jalan menuju pusat perdebatan teologis dan gerejawi ... (karena) pertanyaan ini tidak hanya dihadapi oleh para sarjana Perjanjian Baru, melainkan setiap teolog Kristen.” Meskipun demikian, betapapun “anehnya” sebuah pemikiran yang timbul, dia harus direspon dengan penelitian dan pemikiran pula. Karena, ragam pertanyaan yang disematkan kepada Gereja sangat penting agar riset dan ikhtiar intelektual tidak berjalan ditempat yang sunyi. Karena dengan adanya dielekta antara “Kita” dengan “Mereka”, kebenaran yang sejati akan benar-benar terungkap dengan sebaik-sebaiknya. Sebab, sudah berabad-abad lamanya Perjanjian Baru dipandang sebagai kitab yang berwibawa, dan disini – bukan kewibawaan itu yang dibuktikan, melainkan keragu-raguan atas kewibawaan itulah yang harus diuji.
Dan melalui tulisan ini, kendatipun tidak pernah ditampik bahwa sebagai sebuah ikhtiar intelektual, masih banyak kekurangan disana-sini. Sebab sebagai sebuah rekonstruksi, pada satu pihak kita diperhadapkan pada data-data fragmentaris dari masa-masa klasik yang dimulai di abad pertama masehi kekristenan, dan dipihak lain berbagai penafsiran dan hipotesa diberlakukan untuk memahami data-data yang ada tersebut. Selamat membaca !!!
Pendekatan yang dipakai kali ini adalah satu pendekatan falsafati, dan kita akan melakukan perjalanan menikmati alur demi alur mulai dari Plato hingga Saksi Yehuwa, bagaimana pandangan mereka, dan bagaimana pandangan Alkitab. Todah Rabah !!! Terima Kasih !!! ~ Merdeka ~
Dilain pihak, dalam sejumlah besar sekolah-sekolah Alkitab, pembahasan mengenai Kitab Suci berada di posisi yang sangat penting – karena seluruh doktrin iman Kristen bersumber sepenuhnya dari Alkitab. Menyadari hal ini, banyak pihak berupaya untuk merendahkan kewibawaan Alkitab. Mereka menuduh bahwa kanon Perjanjian Baru terbentuk tak lebih dari sebuah kepentingan politik Kaisar Konstantin pada sidang Nikea 325 M, ada juga anggapan yang memustahilkan bahwa kitab-kitab Injil ditulis oleh para saksi mata – sebab menurut pandangan tersebut, para murid Yesus bukanlah orang yang terpelajar, jenjang akademis yang tidak memadai dari para murid itulah yang bersebrangan dengan fakta bahwa keseluruhan Perjanjian Baru dituliskan oleh orang-orang terpelajar dalam bahasa Yunani. Senada dengan itu, ketika kanon Perjanjian Baru di-inisiasi, ada asumsi bahwa terdapat persamaan mutu, dan keotentikan antara dokumen-dokumen kanonik dengan tulisan apokrif Perjanjian Baru. Berdasarkan asumsi ini, ditariklah kesimpulan bahwa penentuan tentang masuk atau tidaknya suatu bagian di dalam kanon Perjanjian Baru adalah semata-mata diukur dari perspektif untung atau tidaknya ortodoksi Gereja.
Akibatnya, kanon Perjanjian Baru hanya dipandang sebagai sebuah karangan belaka yang mengandung banyak kesalahan, dan kekeliruan karena “dengan sengaja” dibentuk oleh manusia. Sehingga dalam hal ini, manusia-lah yang menjadi “tuan” atas tulisan-tulisan yang dianggap suci tersebut. Lebih-lebih beberapa pihak tersebut menyitir statement James Barr yang menyebut bahwa “Yesus dalam pengajaran-Nya tidak pernah tampil memerintahkan atau bahkan menyetujui penulisan Perjanjian Baru”, juga Yesus dan murid-murid-Nya belum “mempunyai pandangan yang kuat dan tajam atas kitab-kitab apa yang harus dianggap sebagai Kitab Suci”. Dengan kata lain, ide akan kanon tidak ada dalam benak Kekristenan mula-mula, sebab kala itu Gereja lebih condong dalam pemberitaan lisan (oral tradition) – ketimbang naskah tertulis, juga legitimasi Perjanjian Baru sebagai Kitab Suci merupakan legitimasi pada masa-masa belakangan.
Kurt Aland benar, ketika ia mengakui permasalahan pokok yang tak terelakkan mengenai kanon: “Pertanyaan mengenai kanon akan menciptakan jalan menuju pusat perdebatan teologis dan gerejawi ... (karena) pertanyaan ini tidak hanya dihadapi oleh para sarjana Perjanjian Baru, melainkan setiap teolog Kristen.” Meskipun demikian, betapapun “anehnya” sebuah pemikiran yang timbul, dia harus direspon dengan penelitian dan pemikiran pula. Karena, ragam pertanyaan yang disematkan kepada Gereja sangat penting agar riset dan ikhtiar intelektual tidak berjalan ditempat yang sunyi. Karena dengan adanya dielekta antara “Kita” dengan “Mereka”, kebenaran yang sejati akan benar-benar terungkap dengan sebaik-sebaiknya. Sebab, sudah berabad-abad lamanya Perjanjian Baru dipandang sebagai kitab yang berwibawa, dan disini – bukan kewibawaan itu yang dibuktikan, melainkan keragu-raguan atas kewibawaan itulah yang harus diuji.
Dan melalui tulisan ini, kendatipun tidak pernah ditampik bahwa sebagai sebuah ikhtiar intelektual, masih banyak kekurangan disana-sini. Sebab sebagai sebuah rekonstruksi, pada satu pihak kita diperhadapkan pada data-data fragmentaris dari masa-masa klasik yang dimulai di abad pertama masehi kekristenan, dan dipihak lain berbagai penafsiran dan hipotesa diberlakukan untuk memahami data-data yang ada tersebut. Selamat membaca !!!
Pendekatan yang dipakai kali ini adalah satu pendekatan falsafati, dan kita akan melakukan perjalanan menikmati alur demi alur mulai dari Plato hingga Saksi Yehuwa, bagaimana pandangan mereka, dan bagaimana pandangan Alkitab. Todah Rabah !!! Terima Kasih !!! ~ Merdeka ~