Jurnal Say-Syir'ah Vol. 45 No. II, Juli-Desember 2011, 2011
Abstrak: sejatinya agama adalah pencarian spiritual manusia tentang hakekat kebenaran dan kedamai... more Abstrak: sejatinya agama adalah pencarian spiritual manusia tentang hakekat kebenaran dan kedamaian dirinya dengan Tuhan yang terjadi secara evolutif. Dalam proses pencarian dan kebenaran itu maka beragama dipandang sebagai salah satu hak asasi manusia (HAM) yang harus dihormati oleh institusi apa dan manapun. Karena itu dalam konfigurasi ketatanegaraan, HAM beragama mempunyai posisi yang sangat penting. Bagaimanapun juga HAM beragama akan menemukan jantung "persoalan" yang utama ketika berhadapan dengan entitas negara. Persoalan yang muncul kemudian bagaimana posisi agama dalam konteks negara? Atau posisi agama dalam konteks hukum? Tulisan ini ingin mengkaji lebih mendasar bagaimana HAM Beragama dalam perspektif Filsafat Ilmu Hukum. Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Filsafat Ilmu Hukum Pendahuluan Dalam rentang peradaban dunia, menguak eksistensi manusia sebagai makhluk yang memiliki harkat dan martabat selalu menarik untuk diperbincangkan. Hal itu sama menariknya ketika manusia membicarakan eksistensi negara sebagai suprastruktur kehidupan sosial demi keberlanjutan eksistensi manusia itu sendiri. Korelasi ini bisa dipahami, sebab dalam proses interaksi itu, manusia selalu dihadapkan pada dinamika sosio-politik dan ekonomi yang bertolak tarik dengan ego-kekuasaan atau naluri kolonialisme yang praksisnya kerap despotis dan merendahkan. Titik persingungan dan ketegangan itu pula, dalam sejarah, merupakan pembuka reformasi politik eropa (akhir abad 18) lalu menjadikannya sebagai momen bersejarah lahirnya Piagam Hak Asasi Manusia.
Jurnal Say-Syir'ah Vol. 51 No. 1, Juni 2017 , 2017
Abstract: Within administrative level, the governance of Educative Staffs, namely lecturers, of S... more Abstract: Within administrative level, the governance of Educative Staffs, namely lecturers, of State Islamic Universities held by the Ministry of Religious Affairs is equipped with and supported by legal instruments and by the Ministry organs. The demand on the improvement of the quality of the educative staffs with strong qualification and professionalism has widened the authority and jurisdiction of the Ministry, leading it to not only stick to available legal rules but also to make innovative policies and discretions as to meet the urgent administrative demands and realize the specified target and aims of education. Certainly, the effort must be coupled with the creative activities and veracious and precise motives so that it conforms to the existing legal rules. This article discusses one of the legal rules issued by the Directorate General of Islamic Education, called as Perdirjenpendis No. 2/ 2013 on the Discipline of the Presence of the Educative Staff at Campus, which followed the Rectors’ Decree No. 85/2011 and was claimed to have reduced the roles of the Educative Staffs. As the Ministry was quite slow to respond to enact the regulation on certification, the Decree was then issued instead. The enactment of the Decree has created dualism which in turns not only distorts the quality of the Educative Staffs but also results in problematic accountability of Educative Staffs’ duties. A new policy is badly needed to issue as to well and relevantly administer the duties of the Educative Staffs as specified in the Law No. 14/2005, Law No. 12/2012 and Governmental Regulation No. 37/2009.
Dalam ranah administratif, penyelenggaraan tata kelola dosen di Perguruan Tinggi Agama Islam Nege... more Dalam ranah administratif, penyelenggaraan tata kelola dosen di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri oleh Kementerian Agama ditopang dan didukung oleh instrumen legal dan organ kementerian di bawahnya. Tuntutan peningkatan mutu dosen dengan standar dan profesionalisme yang jelas, memperluas kewenangan Kementerian Agama yang tidak hanya sebatas pada delegasi peraturan perundangundangan, melainkan juga kewenangan bebas (diskresi) berupa kebijakan. Kebijakan adalah peraturan yang lahir dari tuntutan administrasi yang mendesak dan segera guna mempercepat capaian target pendidikan tinggi keagamaan yang telah ditetapkan. Namun kecepatan itu harus disertai langkah-langkah cermat dan motivasi yang baik, benar dan maslahah agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pokoknya. Berangkat dari prinsip itu, tulisan ini ingin mengkaji salah satu Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Islam yakni Perdirjenpendis No. 2 Tahun 2013 tentang Disiplin Kehadiran Dosen, yang muncul belakangan setelah Surat Keputusan Rektor No. 85 Tahun 2011 ditetapkan, yang dinilai mereduksi fungsional dosen. Kementerian Agama telat mengeluarkan peraturan sertifikasi yang diperintahkan PP No. 37 Tahun 2009 Tentang Dosen, yang akhirnya demi kebutuhan juklak dan juknis penyusunan kinerja dosen ditetapkanlah SK Rektor tersebut. Adanya dualisme aturan yang tumpang tindih tersebut tidak hanya menggeser makna kualitas dan kuantitas kinerja dosen, melainkan juga menimbulkan problem akuntabilitas kinerja dosen secara administratif. Dibutuhkan kebijakan khusus tentang disiplin dosen yang paralel dengan beban kinerja tridharma yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan PP No. 37 Tahun 2009 tentang Dosen. Keyword: Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel), Peraturan Perundangundangan (Regeling), PNS dan Dosen. Pendahuluan Salah satu manifestasi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam Alenia Keempat Pembukaan UUD 1945 adalah diselenggarakannya sistem pendidikan nasional 1 yang terencana, terarah dan terpadu melalui regulasi dan 1
Jurnal Civics: Media Kajian Kewarganegaraan Vol. 16 No. 1 Tahun 2019 | 89 – 97, 2019
Artikel ini mengkaji tentang nilai-nilai toleransi keagamaan yang muncul dalam masyarakat sinkret... more Artikel ini mengkaji tentang nilai-nilai toleransi keagamaan yang muncul dalam masyarakat sinkretis Girikarto dan puritanis Kotabaru Yogyakarta. Penelitian ini mengambil objek penelitian Masyarakat Budha dan Islam di wilayah Girikarto serta Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan Yayasan Masjid Syuhada Kotabaru Yogyakarta. Metode penelitian empirik ini dilakukan dengan wawancara secara mendalam dan observasi lapangan secara langsung dalam kehidupan keluarga, sosial, dan keagamaan masyarakat. Pendekatan yang digunakan adalah antropologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa toleransi merupakan konsep keagamaan yang berbaur dengan pluralitas tradisi Jawa (Hindu-Budha, animisme, dinamisme, dan Islam) yang membentuk ide, nilai, tradisi, sistem sosial sebagai satu kesadaran hidup damai dan rukun di antara masyarakat, khususnya Yogyakarta. Kemajemukan menjadi suatu keniscayaan. Pancasila diyakini merupakan filosofi dan ideologi yang mempersatukan kemajemukan itu. Pancasila merupakan kristalisasi nilai- nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan keagamaan masyarakat. Toleransi merupakan pemaduan nilai agama dan budaya yang dipegang teguh dengan baik.
Buku Antologi, Suka Press, ISBN : 978-602-1326-61-9, 2018
Hampir dua dasawarsa Indonesia telah melewati proses reformasi (transisi demokrasi) dengan berbag... more Hampir dua dasawarsa Indonesia telah melewati proses reformasi (transisi demokrasi) dengan berbagai perubahan materi konstitusi, regulasi dan restrukturisasi ketatanegaraan. Namun dalam dua level kehidupan negara, berubahan masih dirasa belum signifikan. Pada level struktural kenegaraan, penyelenggara negara, birokrasi dan aparatur pemerintahan masih terjebak dalam pusaran korupsi, konflik kelembagaan, egoisme sektoral, degradasi moral seperti asusila dan narkoba. Di level akar rumput yakni masyarakat sendiri, kesenjangan ekonomi masih tinggi, kemiskinan semakin meluas, kerusakan lingkungan semakin parah, dan konflik berbagai isu SARA dan kekerasan juga tak kunjung berkurang. Secara konseptual, demokrasi yang telah diintroduksi dalam reformasi politik sebagai landasan konstitusional kedaulatan rakyat, seharusnya mampu memberi jalan keluar dan mencegah reproduksi masalah tersebut. Sebab, demokrasi telah membebaskan jeratan otoriterisme sehingga kebebasan akan menjamin perolehan hak dan kewajiban setiap warga negara dalam berbagai bidang kehidupan. Demokrasi tidak hanya menjamin kebebasan politik secara damai, namun kesempatan yang sama dalam demokrasi dapat menjadi sarana pencapaian keadilan hukum yang substantif. Jika merunut pada proses demokratisasi regulasi dan kelembagaan, beberapa hasil yang telah dicapai misalnya adanya regulasi yang partisipatoris, munculnya lembaga negara bantu yang independen, pembentukan lembaga tinggi negara baru, pendirian sejumlah partai politik baru, rekruitmen keanggotaan parpol yang terbuka dan bebas, netralitas aparatus sipil dan nonsipil pemerintah dalam politik partai, rekruitmen jabatan publik melalui parlemen, dan pengawasan kebijakan pemerintah dan kekuasaan kehakiman melalui parlemen, dan yang paling prestisius adalah kewenangan parlemen atas kebijakan politik anggaran. Harus diakui bahwa transisi demokrasi di Indonesia telah menghasilkan kado istimewa bagi sebuah otoritas parlemen dan partai politik sekaligus. Amandemen UUD 1945 telah memberikan alas konstitusional pada pilar kekuasaan ini melalui Pasal 10, 11, 12, 13, 14, dan 15, dan yudikatif ketika terjadi pelanggaran hukum oleh Presiden (Pasal 7A dan B dan Pasal 24C ayat (1)). Takcukup sampai di situ, manifestasi parlemen diperkuat dengan pengaturan partai politik dan sistem rekruitmen jabatan Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah. Partai politik menjadi suprastruktur dalam sistem ketatanegaraan (Pasal 6A (rekruitmen capres/cawapres), Pasal 7A dan B (Mekanisme pemberhentian Presiden), pengusung calon Kepala Daerah/ wakil kepala daerah (Pasal 18 UUD 1945 dan Pasal 29 UU Parpol), peserta pemilu untuk memilih anggota DPRD dan DPRD adalah Partai Politik (Pasal 22E ayat (3)), pembubaran parpol oleh MK (Pasal 24C ayat (1)). Melebarnya ‘kelopak’ kuasa parlemen dan partai politik seharusnya dapat mendorong proses demokratisasi pemerintahan dari sekedar prosedural menjadi lebih substansial, dari sekedar instrumental menjadi prinsipal. Namun disayangkan, hal itu tidak terjadi. Sebaliknya, pasca pemilu 1999 delegitimasi partai politik dan parlemen justru terus mengalami penurunan. Berbagai skandal hukum kerap menyeret kader parpol. Perpecahan internal parpol kerap terjadi. Kekisruhan jabatan di kalangan parpol di parlemen terus meruncing. Perseteruan konflik kewenangan antara parlemen dengan lembaga tinggi negara dan lembaga negara bantu kerap terjadi. Mengapa demokrasi masih gagal melahirkan partai politik yang progresif? Partai politik yang seperti apakah yang kita butuhkan? Bagaimana caranya? Apa yang menjadi tujuan dari sebuah partai politik itu?
Jurnal Say-Syir'ah Vol. 45 No. II, Juli-Desember 2011, 2011
Abstrak: sejatinya agama adalah pencarian spiritual manusia tentang hakekat kebenaran dan kedamai... more Abstrak: sejatinya agama adalah pencarian spiritual manusia tentang hakekat kebenaran dan kedamaian dirinya dengan Tuhan yang terjadi secara evolutif. Dalam proses pencarian dan kebenaran itu maka beragama dipandang sebagai salah satu hak asasi manusia (HAM) yang harus dihormati oleh institusi apa dan manapun. Karena itu dalam konfigurasi ketatanegaraan, HAM beragama mempunyai posisi yang sangat penting. Bagaimanapun juga HAM beragama akan menemukan jantung "persoalan" yang utama ketika berhadapan dengan entitas negara. Persoalan yang muncul kemudian bagaimana posisi agama dalam konteks negara? Atau posisi agama dalam konteks hukum? Tulisan ini ingin mengkaji lebih mendasar bagaimana HAM Beragama dalam perspektif Filsafat Ilmu Hukum. Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Filsafat Ilmu Hukum Pendahuluan Dalam rentang peradaban dunia, menguak eksistensi manusia sebagai makhluk yang memiliki harkat dan martabat selalu menarik untuk diperbincangkan. Hal itu sama menariknya ketika manusia membicarakan eksistensi negara sebagai suprastruktur kehidupan sosial demi keberlanjutan eksistensi manusia itu sendiri. Korelasi ini bisa dipahami, sebab dalam proses interaksi itu, manusia selalu dihadapkan pada dinamika sosio-politik dan ekonomi yang bertolak tarik dengan ego-kekuasaan atau naluri kolonialisme yang praksisnya kerap despotis dan merendahkan. Titik persingungan dan ketegangan itu pula, dalam sejarah, merupakan pembuka reformasi politik eropa (akhir abad 18) lalu menjadikannya sebagai momen bersejarah lahirnya Piagam Hak Asasi Manusia.
Jurnal Say-Syir'ah Vol. 51 No. 1, Juni 2017 , 2017
Abstract: Within administrative level, the governance of Educative Staffs, namely lecturers, of S... more Abstract: Within administrative level, the governance of Educative Staffs, namely lecturers, of State Islamic Universities held by the Ministry of Religious Affairs is equipped with and supported by legal instruments and by the Ministry organs. The demand on the improvement of the quality of the educative staffs with strong qualification and professionalism has widened the authority and jurisdiction of the Ministry, leading it to not only stick to available legal rules but also to make innovative policies and discretions as to meet the urgent administrative demands and realize the specified target and aims of education. Certainly, the effort must be coupled with the creative activities and veracious and precise motives so that it conforms to the existing legal rules. This article discusses one of the legal rules issued by the Directorate General of Islamic Education, called as Perdirjenpendis No. 2/ 2013 on the Discipline of the Presence of the Educative Staff at Campus, which followed the Rectors’ Decree No. 85/2011 and was claimed to have reduced the roles of the Educative Staffs. As the Ministry was quite slow to respond to enact the regulation on certification, the Decree was then issued instead. The enactment of the Decree has created dualism which in turns not only distorts the quality of the Educative Staffs but also results in problematic accountability of Educative Staffs’ duties. A new policy is badly needed to issue as to well and relevantly administer the duties of the Educative Staffs as specified in the Law No. 14/2005, Law No. 12/2012 and Governmental Regulation No. 37/2009.
Dalam ranah administratif, penyelenggaraan tata kelola dosen di Perguruan Tinggi Agama Islam Nege... more Dalam ranah administratif, penyelenggaraan tata kelola dosen di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri oleh Kementerian Agama ditopang dan didukung oleh instrumen legal dan organ kementerian di bawahnya. Tuntutan peningkatan mutu dosen dengan standar dan profesionalisme yang jelas, memperluas kewenangan Kementerian Agama yang tidak hanya sebatas pada delegasi peraturan perundangundangan, melainkan juga kewenangan bebas (diskresi) berupa kebijakan. Kebijakan adalah peraturan yang lahir dari tuntutan administrasi yang mendesak dan segera guna mempercepat capaian target pendidikan tinggi keagamaan yang telah ditetapkan. Namun kecepatan itu harus disertai langkah-langkah cermat dan motivasi yang baik, benar dan maslahah agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pokoknya. Berangkat dari prinsip itu, tulisan ini ingin mengkaji salah satu Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Islam yakni Perdirjenpendis No. 2 Tahun 2013 tentang Disiplin Kehadiran Dosen, yang muncul belakangan setelah Surat Keputusan Rektor No. 85 Tahun 2011 ditetapkan, yang dinilai mereduksi fungsional dosen. Kementerian Agama telat mengeluarkan peraturan sertifikasi yang diperintahkan PP No. 37 Tahun 2009 Tentang Dosen, yang akhirnya demi kebutuhan juklak dan juknis penyusunan kinerja dosen ditetapkanlah SK Rektor tersebut. Adanya dualisme aturan yang tumpang tindih tersebut tidak hanya menggeser makna kualitas dan kuantitas kinerja dosen, melainkan juga menimbulkan problem akuntabilitas kinerja dosen secara administratif. Dibutuhkan kebijakan khusus tentang disiplin dosen yang paralel dengan beban kinerja tridharma yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan PP No. 37 Tahun 2009 tentang Dosen. Keyword: Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel), Peraturan Perundangundangan (Regeling), PNS dan Dosen. Pendahuluan Salah satu manifestasi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam Alenia Keempat Pembukaan UUD 1945 adalah diselenggarakannya sistem pendidikan nasional 1 yang terencana, terarah dan terpadu melalui regulasi dan 1
Jurnal Civics: Media Kajian Kewarganegaraan Vol. 16 No. 1 Tahun 2019 | 89 – 97, 2019
Artikel ini mengkaji tentang nilai-nilai toleransi keagamaan yang muncul dalam masyarakat sinkret... more Artikel ini mengkaji tentang nilai-nilai toleransi keagamaan yang muncul dalam masyarakat sinkretis Girikarto dan puritanis Kotabaru Yogyakarta. Penelitian ini mengambil objek penelitian Masyarakat Budha dan Islam di wilayah Girikarto serta Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan Yayasan Masjid Syuhada Kotabaru Yogyakarta. Metode penelitian empirik ini dilakukan dengan wawancara secara mendalam dan observasi lapangan secara langsung dalam kehidupan keluarga, sosial, dan keagamaan masyarakat. Pendekatan yang digunakan adalah antropologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa toleransi merupakan konsep keagamaan yang berbaur dengan pluralitas tradisi Jawa (Hindu-Budha, animisme, dinamisme, dan Islam) yang membentuk ide, nilai, tradisi, sistem sosial sebagai satu kesadaran hidup damai dan rukun di antara masyarakat, khususnya Yogyakarta. Kemajemukan menjadi suatu keniscayaan. Pancasila diyakini merupakan filosofi dan ideologi yang mempersatukan kemajemukan itu. Pancasila merupakan kristalisasi nilai- nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan keagamaan masyarakat. Toleransi merupakan pemaduan nilai agama dan budaya yang dipegang teguh dengan baik.
Buku Antologi, Suka Press, ISBN : 978-602-1326-61-9, 2018
Hampir dua dasawarsa Indonesia telah melewati proses reformasi (transisi demokrasi) dengan berbag... more Hampir dua dasawarsa Indonesia telah melewati proses reformasi (transisi demokrasi) dengan berbagai perubahan materi konstitusi, regulasi dan restrukturisasi ketatanegaraan. Namun dalam dua level kehidupan negara, berubahan masih dirasa belum signifikan. Pada level struktural kenegaraan, penyelenggara negara, birokrasi dan aparatur pemerintahan masih terjebak dalam pusaran korupsi, konflik kelembagaan, egoisme sektoral, degradasi moral seperti asusila dan narkoba. Di level akar rumput yakni masyarakat sendiri, kesenjangan ekonomi masih tinggi, kemiskinan semakin meluas, kerusakan lingkungan semakin parah, dan konflik berbagai isu SARA dan kekerasan juga tak kunjung berkurang. Secara konseptual, demokrasi yang telah diintroduksi dalam reformasi politik sebagai landasan konstitusional kedaulatan rakyat, seharusnya mampu memberi jalan keluar dan mencegah reproduksi masalah tersebut. Sebab, demokrasi telah membebaskan jeratan otoriterisme sehingga kebebasan akan menjamin perolehan hak dan kewajiban setiap warga negara dalam berbagai bidang kehidupan. Demokrasi tidak hanya menjamin kebebasan politik secara damai, namun kesempatan yang sama dalam demokrasi dapat menjadi sarana pencapaian keadilan hukum yang substantif. Jika merunut pada proses demokratisasi regulasi dan kelembagaan, beberapa hasil yang telah dicapai misalnya adanya regulasi yang partisipatoris, munculnya lembaga negara bantu yang independen, pembentukan lembaga tinggi negara baru, pendirian sejumlah partai politik baru, rekruitmen keanggotaan parpol yang terbuka dan bebas, netralitas aparatus sipil dan nonsipil pemerintah dalam politik partai, rekruitmen jabatan publik melalui parlemen, dan pengawasan kebijakan pemerintah dan kekuasaan kehakiman melalui parlemen, dan yang paling prestisius adalah kewenangan parlemen atas kebijakan politik anggaran. Harus diakui bahwa transisi demokrasi di Indonesia telah menghasilkan kado istimewa bagi sebuah otoritas parlemen dan partai politik sekaligus. Amandemen UUD 1945 telah memberikan alas konstitusional pada pilar kekuasaan ini melalui Pasal 10, 11, 12, 13, 14, dan 15, dan yudikatif ketika terjadi pelanggaran hukum oleh Presiden (Pasal 7A dan B dan Pasal 24C ayat (1)). Takcukup sampai di situ, manifestasi parlemen diperkuat dengan pengaturan partai politik dan sistem rekruitmen jabatan Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah. Partai politik menjadi suprastruktur dalam sistem ketatanegaraan (Pasal 6A (rekruitmen capres/cawapres), Pasal 7A dan B (Mekanisme pemberhentian Presiden), pengusung calon Kepala Daerah/ wakil kepala daerah (Pasal 18 UUD 1945 dan Pasal 29 UU Parpol), peserta pemilu untuk memilih anggota DPRD dan DPRD adalah Partai Politik (Pasal 22E ayat (3)), pembubaran parpol oleh MK (Pasal 24C ayat (1)). Melebarnya ‘kelopak’ kuasa parlemen dan partai politik seharusnya dapat mendorong proses demokratisasi pemerintahan dari sekedar prosedural menjadi lebih substansial, dari sekedar instrumental menjadi prinsipal. Namun disayangkan, hal itu tidak terjadi. Sebaliknya, pasca pemilu 1999 delegitimasi partai politik dan parlemen justru terus mengalami penurunan. Berbagai skandal hukum kerap menyeret kader parpol. Perpecahan internal parpol kerap terjadi. Kekisruhan jabatan di kalangan parpol di parlemen terus meruncing. Perseteruan konflik kewenangan antara parlemen dengan lembaga tinggi negara dan lembaga negara bantu kerap terjadi. Mengapa demokrasi masih gagal melahirkan partai politik yang progresif? Partai politik yang seperti apakah yang kita butuhkan? Bagaimana caranya? Apa yang menjadi tujuan dari sebuah partai politik itu?
Uploads
Papers by Nur Ainun
This article discusses one of the legal rules issued by the Directorate General of Islamic Education, called as Perdirjenpendis No. 2/ 2013 on the Discipline of the Presence of the Educative Staff at Campus, which followed the Rectors’ Decree No. 85/2011 and was claimed to have reduced the roles of the Educative Staffs. As the Ministry was quite slow to respond to enact the regulation on certification, the Decree was then issued instead. The enactment of the Decree has created dualism which in turns not only distorts the quality of the Educative Staffs but also results in problematic accountability of Educative Staffs’ duties. A new policy is badly needed to issue as to well and relevantly administer the duties of the Educative Staffs as specified in the Law No. 14/2005, Law No. 12/2012 and Governmental Regulation No. 37/2009.
Books by Nur Ainun
Secara konseptual, demokrasi yang telah diintroduksi dalam reformasi politik sebagai landasan konstitusional kedaulatan rakyat, seharusnya mampu memberi jalan keluar dan mencegah reproduksi masalah tersebut. Sebab, demokrasi telah membebaskan jeratan otoriterisme sehingga kebebasan akan menjamin perolehan hak dan kewajiban setiap warga negara dalam berbagai bidang kehidupan. Demokrasi tidak hanya menjamin kebebasan politik secara damai, namun kesempatan yang sama dalam demokrasi dapat menjadi sarana pencapaian keadilan hukum yang substantif.
Jika merunut pada proses demokratisasi regulasi dan kelembagaan, beberapa hasil yang telah dicapai misalnya adanya regulasi yang partisipatoris, munculnya lembaga negara bantu yang independen, pembentukan lembaga tinggi negara baru, pendirian sejumlah partai politik baru, rekruitmen keanggotaan parpol yang terbuka dan bebas, netralitas aparatus sipil dan nonsipil pemerintah dalam politik partai, rekruitmen jabatan publik melalui parlemen, dan pengawasan kebijakan pemerintah dan kekuasaan kehakiman melalui parlemen, dan yang paling prestisius adalah kewenangan parlemen atas kebijakan politik anggaran.
Harus diakui bahwa transisi demokrasi di Indonesia telah menghasilkan kado istimewa bagi sebuah otoritas parlemen dan partai politik sekaligus. Amandemen UUD 1945 telah memberikan alas konstitusional pada pilar kekuasaan ini melalui Pasal 10, 11, 12, 13, 14, dan 15, dan yudikatif ketika terjadi pelanggaran hukum oleh Presiden (Pasal 7A dan B dan Pasal 24C ayat (1)). Takcukup sampai di situ, manifestasi parlemen diperkuat dengan pengaturan partai politik dan sistem rekruitmen jabatan Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah. Partai politik menjadi suprastruktur dalam sistem ketatanegaraan (Pasal 6A (rekruitmen capres/cawapres), Pasal 7A dan B (Mekanisme pemberhentian Presiden), pengusung calon Kepala Daerah/ wakil kepala daerah (Pasal 18 UUD 1945 dan Pasal 29 UU Parpol), peserta pemilu untuk memilih anggota DPRD dan DPRD adalah Partai Politik (Pasal 22E ayat (3)), pembubaran parpol oleh MK (Pasal 24C ayat (1)). Melebarnya ‘kelopak’ kuasa parlemen dan partai politik seharusnya dapat mendorong proses demokratisasi pemerintahan dari sekedar prosedural menjadi lebih substansial, dari sekedar instrumental menjadi prinsipal. Namun disayangkan, hal itu tidak terjadi. Sebaliknya, pasca pemilu 1999 delegitimasi partai politik dan parlemen justru terus mengalami penurunan. Berbagai skandal hukum kerap menyeret kader parpol. Perpecahan internal parpol kerap terjadi. Kekisruhan jabatan di kalangan parpol di parlemen terus meruncing. Perseteruan konflik kewenangan antara parlemen dengan lembaga tinggi negara dan lembaga negara bantu kerap terjadi. Mengapa demokrasi masih gagal melahirkan partai politik yang progresif? Partai politik yang seperti apakah yang kita butuhkan? Bagaimana caranya? Apa yang menjadi tujuan dari sebuah partai politik itu?
This article discusses one of the legal rules issued by the Directorate General of Islamic Education, called as Perdirjenpendis No. 2/ 2013 on the Discipline of the Presence of the Educative Staff at Campus, which followed the Rectors’ Decree No. 85/2011 and was claimed to have reduced the roles of the Educative Staffs. As the Ministry was quite slow to respond to enact the regulation on certification, the Decree was then issued instead. The enactment of the Decree has created dualism which in turns not only distorts the quality of the Educative Staffs but also results in problematic accountability of Educative Staffs’ duties. A new policy is badly needed to issue as to well and relevantly administer the duties of the Educative Staffs as specified in the Law No. 14/2005, Law No. 12/2012 and Governmental Regulation No. 37/2009.
Secara konseptual, demokrasi yang telah diintroduksi dalam reformasi politik sebagai landasan konstitusional kedaulatan rakyat, seharusnya mampu memberi jalan keluar dan mencegah reproduksi masalah tersebut. Sebab, demokrasi telah membebaskan jeratan otoriterisme sehingga kebebasan akan menjamin perolehan hak dan kewajiban setiap warga negara dalam berbagai bidang kehidupan. Demokrasi tidak hanya menjamin kebebasan politik secara damai, namun kesempatan yang sama dalam demokrasi dapat menjadi sarana pencapaian keadilan hukum yang substantif.
Jika merunut pada proses demokratisasi regulasi dan kelembagaan, beberapa hasil yang telah dicapai misalnya adanya regulasi yang partisipatoris, munculnya lembaga negara bantu yang independen, pembentukan lembaga tinggi negara baru, pendirian sejumlah partai politik baru, rekruitmen keanggotaan parpol yang terbuka dan bebas, netralitas aparatus sipil dan nonsipil pemerintah dalam politik partai, rekruitmen jabatan publik melalui parlemen, dan pengawasan kebijakan pemerintah dan kekuasaan kehakiman melalui parlemen, dan yang paling prestisius adalah kewenangan parlemen atas kebijakan politik anggaran.
Harus diakui bahwa transisi demokrasi di Indonesia telah menghasilkan kado istimewa bagi sebuah otoritas parlemen dan partai politik sekaligus. Amandemen UUD 1945 telah memberikan alas konstitusional pada pilar kekuasaan ini melalui Pasal 10, 11, 12, 13, 14, dan 15, dan yudikatif ketika terjadi pelanggaran hukum oleh Presiden (Pasal 7A dan B dan Pasal 24C ayat (1)). Takcukup sampai di situ, manifestasi parlemen diperkuat dengan pengaturan partai politik dan sistem rekruitmen jabatan Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah. Partai politik menjadi suprastruktur dalam sistem ketatanegaraan (Pasal 6A (rekruitmen capres/cawapres), Pasal 7A dan B (Mekanisme pemberhentian Presiden), pengusung calon Kepala Daerah/ wakil kepala daerah (Pasal 18 UUD 1945 dan Pasal 29 UU Parpol), peserta pemilu untuk memilih anggota DPRD dan DPRD adalah Partai Politik (Pasal 22E ayat (3)), pembubaran parpol oleh MK (Pasal 24C ayat (1)). Melebarnya ‘kelopak’ kuasa parlemen dan partai politik seharusnya dapat mendorong proses demokratisasi pemerintahan dari sekedar prosedural menjadi lebih substansial, dari sekedar instrumental menjadi prinsipal. Namun disayangkan, hal itu tidak terjadi. Sebaliknya, pasca pemilu 1999 delegitimasi partai politik dan parlemen justru terus mengalami penurunan. Berbagai skandal hukum kerap menyeret kader parpol. Perpecahan internal parpol kerap terjadi. Kekisruhan jabatan di kalangan parpol di parlemen terus meruncing. Perseteruan konflik kewenangan antara parlemen dengan lembaga tinggi negara dan lembaga negara bantu kerap terjadi. Mengapa demokrasi masih gagal melahirkan partai politik yang progresif? Partai politik yang seperti apakah yang kita butuhkan? Bagaimana caranya? Apa yang menjadi tujuan dari sebuah partai politik itu?