Papers by Muhammad Mihrob

Jurnal PUBLIQUE, 2020
Konflik agraria di Desa Andulang diawali oleh terjadinya konflik struktural antara pemodalpemerin... more Konflik agraria di Desa Andulang diawali oleh terjadinya konflik struktural antara pemodalpemerintah dengan kelompok petani. Konlik ini terus berkelanjutan hingga mengakar kuat. Bahasan ini menjadi menarik karena berusaha memotret proses penguasaan tanah oleh investor, kerjasama antara investor dan pemerintah dalam penguasaan tanah, dan potensi konflik penguasaan tanah oleh investor. Penelitian ini menggunakan pendekatakan metode kualitatif.Fakta konlik dikumpulkan melalui observasi, wawancara dan akumulasi dokumentasi. Selanjutnya, data diolah dan dianalisis menggunakan teori Enclosure Karl Marx, teori Ashobiyah Ibnu Khaldun, danteori Conflict Ralf Dahrendorf yang kemudian disajikan secara deskriptif analitis. Proses penguasaan tanah dimulai dari kerjasama apik antara pemerintah setempat degan investor. Kerjasama ini dapat memuluskan proses pengambil alihan tanah. Pada gilirannya kondisi itu mengakibatkan dampak sosial berupa terjadinya akumulasi primitif dengan munculnya kelas baru yaitu kelas pekerja/buruh dan timbulnya konflik struktural dalam masyarakat. Sebab banyak penentangan dilakukan oleh masyarakat petani. Selain itu, memantik tumbuhnya kelompok kepentingan yang bertujuan melindungi tanah warga.
Diberhentikannya izin penangkapan ikan oleh kapal asing membuat mereka tidak lagi mengeksploitasi... more Diberhentikannya izin penangkapan ikan oleh kapal asing membuat mereka tidak lagi mengeksploitasi kekayaan laut kita di Indonesia. Kebijakan ini terbukti efektif. Dari 1300 kapal asing yang dulu berlayar di perairan Indonesia, pada tahun ini hanya ada sekitar 67 kapal yang tersisa

Akhir semester dua ini, ketika salah seorang dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Politik (Ibu Wahida... more Akhir semester dua ini, ketika salah seorang dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Politik (Ibu Wahidah Br. Siregar) memberikan kuliah terakhirnya di kelas, penulis dicengangkan oleh ceritanya. Beliau bercerita tentang pengalamannya mengisi kuliah umum di Washington DC, AS. Salah seorang rekannya dari manca-Negara bertanya kepada beliau, " kenapa di negaramu selalu mengedepankan perbedaan (dengan adanya semboyan " Bhinneka Tunggal Ika " = walaupun berbeda, tapi tetap satu)? Bukankah itu yang memicu adanya masalah kebangsaan seperti konflik suku, agama, dan ras? ". Lantas, beliau berpikir, " iya, ya. Kenapa harus perbedaan yang dikedepankan? Kenapa tidak dengan semboyan " kita tetap satu, walaupun berbeda " ? ". Cerita ini membuat penulis berpikir kembali tentang bangsa yang multikultural ini. Bangsa yang terdiri dari banyak suku, banyak agama, dan terdiri dari berbagai ras selama ini telah menjadi karakter Indonesia. Dengan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bangsa ini telah berdiri dengan segala karakter dan khazanah lokal yang ada di dalamnya. Termasuk juga masyarakat yang memiliki corak dan warna yang berbeda-beda. Persoalan yang paling krusial belakangan ini adalah merebaknya konflik dan kekerasan yang berkedok suku, agama, dan ras (selanjutnya disingkat menjadi SARA). Tentu, konflik dan kekerasan menjadi salah satu masalah (selain masalah politik dan hukum) yang sangat diperhitungkan dan berada pada wilayah yang sensitif bagi masyarakat kita. Ada sebagian kalangan menganggap bahwa multikulturalitas sebagai pemicu adanya konflik dan kekerasan yang berbatu SARA. Multikulturalitas sebagai realitas sosial masyarakat kita seakan-akan telah menjadi masalah yang bahkan oleh berbagai kalangan dipandang sebagai suatu realitas sosial yang perlu dihilangkan. Ini terlihat dari banyaknya sikap organisasi masyarakat yang menginginkan bangsa ini harus terdiri dari satu suku, satu ras, dan bahkan yang paling gencar adalah harus terdiri dari satu agama. Menurut hemat penulis, paham demikian sebenarnya merupakan paham yang pada akhirnya akan menjadi masalah baru yang dialami oleh bangsa kita. Mereka cenderung tidak menerima perbedaan, karena perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang akan memicu lahirnya konflik dan kekerasan. Lantas, apakah yang melatarbelakangi adanya paham demikian? Benarkah bahwa realitas masyarakat yang multikultural menjadi pemicu lahirnya konflik dan kekerasan? Bagaimanakah sikap kita sebagai warga negara menyikapi multikulturalitas sebagai karakter bangas Indonesia ini?

Sekitar tahun 1927, Alphonse Mingana, seorang pendeta Kristen asal Iraq dan mantan guru besar di ... more Sekitar tahun 1927, Alphonse Mingana, seorang pendeta Kristen asal Iraq dan mantan guru besar di Universitas Birmingham, Inggris, memberikan pernyataan yang cukup mencengangkan, “Sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks Al-Quran sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.”Pernyataan ini cukup mengundang perhatian banyak kalangan, bukan hanya dari Islam sendiri, melainkan juga para tokoh peneliti semisal Edward Said dalam bukunya, Orientalisme (1978).[1]
Namun, tanpa penulis berikan banyak penjelasan, penyataan verbal dari Mingana ini sebenarnya terlahir bukan hanya dari kekecewaan para sarjana Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka, namun juga rasa cemburu mereka terhadap umat Islam dan kitab sucinya, Al-Qur’an. Sehingga, kaum orientalis semisal Mingana menjadikan Al-Qur’an yang absolute sebagai objek kritik dan berharap akan ditemukan kesalahan dalam Al-Qur’an hingga mudah menimbulkan kritik terhadap umat Islam.
Dalam perspektif Bryan S. Turner, tujuan orientalisme adalah mereduksi kompleksitas kenyataan timur ke dalam susunan tipe-tipe, karakter-karakter, dan ketentuan-ketentuan yang pasti.Dengan begitu, sejumlah karya yang menggambarkan Timur yang eksotik dalam bentuk tabel-tabel informasi yang sistematis sebenarnya adalah produk kultural yang tipikal dari dominasi Barat (Turner, 2006: 58).[2]
Terlepas dari wacana tentang bagaimana kaum orientalis mencoba melakukan studi kritik terhadap Al-Qur’an, penulis mencoba menelisik bagaimanakah sebenarnya misi orientalisme?Apa yang dimaksud dengan orientalisme? Dan bagaimana pendapat mereka tentang kitab suci Al-Qur’an, yang oleh Dr. M. Quraish Shihab, MA.disebut sebagai kitab suci agama islam yang absolute dan universal?
Uploads
Papers by Muhammad Mihrob
Namun, tanpa penulis berikan banyak penjelasan, penyataan verbal dari Mingana ini sebenarnya terlahir bukan hanya dari kekecewaan para sarjana Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka, namun juga rasa cemburu mereka terhadap umat Islam dan kitab sucinya, Al-Qur’an. Sehingga, kaum orientalis semisal Mingana menjadikan Al-Qur’an yang absolute sebagai objek kritik dan berharap akan ditemukan kesalahan dalam Al-Qur’an hingga mudah menimbulkan kritik terhadap umat Islam.
Dalam perspektif Bryan S. Turner, tujuan orientalisme adalah mereduksi kompleksitas kenyataan timur ke dalam susunan tipe-tipe, karakter-karakter, dan ketentuan-ketentuan yang pasti.Dengan begitu, sejumlah karya yang menggambarkan Timur yang eksotik dalam bentuk tabel-tabel informasi yang sistematis sebenarnya adalah produk kultural yang tipikal dari dominasi Barat (Turner, 2006: 58).[2]
Terlepas dari wacana tentang bagaimana kaum orientalis mencoba melakukan studi kritik terhadap Al-Qur’an, penulis mencoba menelisik bagaimanakah sebenarnya misi orientalisme?Apa yang dimaksud dengan orientalisme? Dan bagaimana pendapat mereka tentang kitab suci Al-Qur’an, yang oleh Dr. M. Quraish Shihab, MA.disebut sebagai kitab suci agama islam yang absolute dan universal?
Namun, tanpa penulis berikan banyak penjelasan, penyataan verbal dari Mingana ini sebenarnya terlahir bukan hanya dari kekecewaan para sarjana Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka, namun juga rasa cemburu mereka terhadap umat Islam dan kitab sucinya, Al-Qur’an. Sehingga, kaum orientalis semisal Mingana menjadikan Al-Qur’an yang absolute sebagai objek kritik dan berharap akan ditemukan kesalahan dalam Al-Qur’an hingga mudah menimbulkan kritik terhadap umat Islam.
Dalam perspektif Bryan S. Turner, tujuan orientalisme adalah mereduksi kompleksitas kenyataan timur ke dalam susunan tipe-tipe, karakter-karakter, dan ketentuan-ketentuan yang pasti.Dengan begitu, sejumlah karya yang menggambarkan Timur yang eksotik dalam bentuk tabel-tabel informasi yang sistematis sebenarnya adalah produk kultural yang tipikal dari dominasi Barat (Turner, 2006: 58).[2]
Terlepas dari wacana tentang bagaimana kaum orientalis mencoba melakukan studi kritik terhadap Al-Qur’an, penulis mencoba menelisik bagaimanakah sebenarnya misi orientalisme?Apa yang dimaksud dengan orientalisme? Dan bagaimana pendapat mereka tentang kitab suci Al-Qur’an, yang oleh Dr. M. Quraish Shihab, MA.disebut sebagai kitab suci agama islam yang absolute dan universal?