Gelombang aksi gerakan mahasiswa Indonesia akhir-akhir ini sedang mengalami pendulum balik yang r... more Gelombang aksi gerakan mahasiswa Indonesia akhir-akhir ini sedang mengalami pendulum balik yang rada memprihatinkan. Hal itu tampak dari fenomena demonstrasi yang dilakukan menyambut ST MPR yang baru saja berlalu. Saat itu, dari elemen-elemen mahasiswa yang melakukan aksi, hanya tampak beberapa gelintir organ saja. Dan itu pun, dari presentase kelembagaan, terlihat organisasi yang besar semisal HMI, PMII, IMM, PMKRI, GMKI, dan lainnya tidak unjuk gigi memanfaatkan momen tersebut. Bila kita bandingkan dengan saat pemerintah menaikkan harga BBM, tarif telepon dan listrik awal 2003 lalu, akhir-akhir ini memang terjadi kesenjangan yang luar biasa. Pada peristiwa terdahulu, hampir keseluruhan organ mahasiswa turun ke jalan untuk memprotes kebijakan pemerintah yang paradoks. Bahkan, banyak elemen mahasiswa yang solid dan bergabung dalam wadah BOKMM (Barisan Oposisi Kaum Muda Mahasiswa) yang di dalamnya Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah menjadi salah satu pelopornya. Saat itu, di Jakarta dan daerah-daerah, hampir setiap pekan demonstrasi marak dilakukan, baik oleh BEM, BOKMM, ataupun organ lainnya. Terhadap Pemilu 2004 pun, saat ini hampir mayoritas dari gerakan mahasiswa menerimanya. Padahal, dari perangkat undang-undang pemilihan umum dan pemilihan presiden langsung, terdapat kekurangan yang sangat besar dan hanya mengesankan kompromi para politisi di Senayan. Hal itu tampak terlihat dari persyaratan seorang calon presiden yang hanya mengharuskan perolehan 3 % saat pemilu legislatif, diperbolehkannya seorang terdakwa mencalonkan diri, sahnya lulusan SMA sebagai kandidat, serta tidak adanya larangan seorang yang sakit mengajukan diri. Begitu juga di pemilihan legislatif, semisal: aturan-aturan tentang dana kampanye yang tidak jelas, ketidaktegasan sistem yang dipakai, serta gerak KPU dan Panwaslu yang terlihat sangat lamban dan tidak tegas. Dan yang lebih ironis lagi, penulis pernah mendengar bahwa dalam sebuah rapat akbar sebuah organisasi kemahasiswaan, terdapat aspirasi untuk mendirikan partai mahasiswa guna diikutkan dalam Pemilu 2004. Sikap mahasiswa yang mulai berubah tersebut, mungkin dikarenakan realitas politik di hadapan mereka tidak memungkinkan untuk bergerak. Hal itu bisa dikarenakan kebutuhan untuk mencari posisi aman, ketidakenakan dengan senior, atau rasa frustasi karena kurang adanya dukungan dan simpati masyarakat terhadap aksi-aksi yang mereka lakukan. Seharusnya, para mahasiswa tidak larut dalam kekecewaan dan keengganan untuk bergerak demi mengawal proses transisi menuju demokrasi yang sedang berjalan dan ditumpangi oleh para sopir dan penumpang yang tidak bertanggung jawab ini. Untuk menyegarkan aktivitas mereka, gerakan mahasiswa harus mampu mereposisi strategi dan membuat skala prioritas terhadap kebutuhan mendesak apa yang perlu mereka jalankan. Janganlah karena kurang adanya dukungan dan habisnya kesabaran yang revolusioner, mereka menjadi pragmatis dan ikut arus para politisi. Paradigma Baru Mahasiswa adalah struktur yang unik dalam tatanan masyarakat, baik dilihat dari sudut politik, ekonomi, maupun sosial. Hal dikarenakan masa ketika menjadi mahasiswa adalah masa transisi sebelum mereka melanjutkan dirinya sebagai seorang profesional, pejuang, politisi, atau pengusaha. Selain itu, keunikannya juga tampak dari kebebasan yang mereka miliki, baik kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi, atau melakukan apa pun. Komunitas mahasiswa juga merupakan satu-satunya komunitas yang paling dinamis dalam menangkap dan mengakomodasi sebuah perubahan serta paling harmonis dalam menyuarakan pendapat. Sebab, mahasiswa adalah asosiasi dari kejujuran, integritas dan semangat moral. Dalam diri mahasiswa, juga terdapat kumpulan calon cendekiawan, pahlawan, negarawan, serta profesi lainnya (Gerakan Mahasiswa, Rezim Tirani & Ideologi Reformasi, 2000). Alangkah sayangnya, jika posisi yang strategis dan unik dari mahasiswa di atas, dibiarkan begitu saja berjalan tanpa ada pemompa semangat dan simpati masyarakat. Yang sering terjadi dan dijadikan ukuran gerakan mahasiswa, memang adalah keunggulannya dalam mengkonsolidasi sebuah gerakan dan penjatuhan sebuah rezim. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa 1966, 1998, dan 2001 dianggap sukses. Sedangkan gerakan mahasiswa 1974, 1978, dan 2002 dianggap sebagai pecundang dan hanya mengacaukan ketenangan masyarakat. Penilaian seperti itu
Gelombang aksi gerakan mahasiswa Indonesia akhir-akhir ini sedang mengalami pendulum balik yang r... more Gelombang aksi gerakan mahasiswa Indonesia akhir-akhir ini sedang mengalami pendulum balik yang rada memprihatinkan. Hal itu tampak dari fenomena demonstrasi yang dilakukan menyambut ST MPR yang baru saja berlalu. Saat itu, dari elemen-elemen mahasiswa yang melakukan aksi, hanya tampak beberapa gelintir organ saja. Dan itu pun, dari presentase kelembagaan, terlihat organisasi yang besar semisal HMI, PMII, IMM, PMKRI, GMKI, dan lainnya tidak unjuk gigi memanfaatkan momen tersebut. Bila kita bandingkan dengan saat pemerintah menaikkan harga BBM, tarif telepon dan listrik awal 2003 lalu, akhir-akhir ini memang terjadi kesenjangan yang luar biasa. Pada peristiwa terdahulu, hampir keseluruhan organ mahasiswa turun ke jalan untuk memprotes kebijakan pemerintah yang paradoks. Bahkan, banyak elemen mahasiswa yang solid dan bergabung dalam wadah BOKMM (Barisan Oposisi Kaum Muda Mahasiswa) yang di dalamnya Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah menjadi salah satu pelopornya. Saat itu, di Jakarta dan daerah-daerah, hampir setiap pekan demonstrasi marak dilakukan, baik oleh BEM, BOKMM, ataupun organ lainnya. Terhadap Pemilu 2004 pun, saat ini hampir mayoritas dari gerakan mahasiswa menerimanya. Padahal, dari perangkat undang-undang pemilihan umum dan pemilihan presiden langsung, terdapat kekurangan yang sangat besar dan hanya mengesankan kompromi para politisi di Senayan. Hal itu tampak terlihat dari persyaratan seorang calon presiden yang hanya mengharuskan perolehan 3 % saat pemilu legislatif, diperbolehkannya seorang terdakwa mencalonkan diri, sahnya lulusan SMA sebagai kandidat, serta tidak adanya larangan seorang yang sakit mengajukan diri. Begitu juga di pemilihan legislatif, semisal: aturan-aturan tentang dana kampanye yang tidak jelas, ketidaktegasan sistem yang dipakai, serta gerak KPU dan Panwaslu yang terlihat sangat lamban dan tidak tegas. Dan yang lebih ironis lagi, penulis pernah mendengar bahwa dalam sebuah rapat akbar sebuah organisasi kemahasiswaan, terdapat aspirasi untuk mendirikan partai mahasiswa guna diikutkan dalam Pemilu 2004. Sikap mahasiswa yang mulai berubah tersebut, mungkin dikarenakan realitas politik di hadapan mereka tidak memungkinkan untuk bergerak. Hal itu bisa dikarenakan kebutuhan untuk mencari posisi aman, ketidakenakan dengan senior, atau rasa frustasi karena kurang adanya dukungan dan simpati masyarakat terhadap aksi-aksi yang mereka lakukan. Seharusnya, para mahasiswa tidak larut dalam kekecewaan dan keengganan untuk bergerak demi mengawal proses transisi menuju demokrasi yang sedang berjalan dan ditumpangi oleh para sopir dan penumpang yang tidak bertanggung jawab ini. Untuk menyegarkan aktivitas mereka, gerakan mahasiswa harus mampu mereposisi strategi dan membuat skala prioritas terhadap kebutuhan mendesak apa yang perlu mereka jalankan. Janganlah karena kurang adanya dukungan dan habisnya kesabaran yang revolusioner, mereka menjadi pragmatis dan ikut arus para politisi. Paradigma Baru Mahasiswa adalah struktur yang unik dalam tatanan masyarakat, baik dilihat dari sudut politik, ekonomi, maupun sosial. Hal dikarenakan masa ketika menjadi mahasiswa adalah masa transisi sebelum mereka melanjutkan dirinya sebagai seorang profesional, pejuang, politisi, atau pengusaha. Selain itu, keunikannya juga tampak dari kebebasan yang mereka miliki, baik kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi, atau melakukan apa pun. Komunitas mahasiswa juga merupakan satu-satunya komunitas yang paling dinamis dalam menangkap dan mengakomodasi sebuah perubahan serta paling harmonis dalam menyuarakan pendapat. Sebab, mahasiswa adalah asosiasi dari kejujuran, integritas dan semangat moral. Dalam diri mahasiswa, juga terdapat kumpulan calon cendekiawan, pahlawan, negarawan, serta profesi lainnya (Gerakan Mahasiswa, Rezim Tirani & Ideologi Reformasi, 2000). Alangkah sayangnya, jika posisi yang strategis dan unik dari mahasiswa di atas, dibiarkan begitu saja berjalan tanpa ada pemompa semangat dan simpati masyarakat. Yang sering terjadi dan dijadikan ukuran gerakan mahasiswa, memang adalah keunggulannya dalam mengkonsolidasi sebuah gerakan dan penjatuhan sebuah rezim. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa 1966, 1998, dan 2001 dianggap sukses. Sedangkan gerakan mahasiswa 1974, 1978, dan 2002 dianggap sebagai pecundang dan hanya mengacaukan ketenangan masyarakat. Penilaian seperti itu
Gelombang aksi gerakan mahasiswa Indonesia akhir-akhir ini sedang mengalami pendulum balik yang r... more Gelombang aksi gerakan mahasiswa Indonesia akhir-akhir ini sedang mengalami pendulum balik yang rada memprihatinkan. Hal itu tampak dari fenomena demonstrasi yang dilakukan menyambut ST MPR yang baru saja berlalu. Saat itu, dari elemen-elemen mahasiswa yang melakukan aksi, hanya tampak beberapa gelintir organ saja. Dan itu pun, dari presentase kelembagaan, terlihat organisasi yang besar semisal HMI, PMII, IMM, PMKRI, GMKI, dan lainnya tidak unjuk gigi memanfaatkan momen tersebut. Bila kita bandingkan dengan saat pemerintah menaikkan harga BBM, tarif telepon dan listrik awal 2003 lalu, akhir-akhir ini memang terjadi kesenjangan yang luar biasa. Pada peristiwa terdahulu, hampir keseluruhan organ mahasiswa turun ke jalan untuk memprotes kebijakan pemerintah yang paradoks. Bahkan, banyak elemen mahasiswa yang solid dan bergabung dalam wadah BOKMM (Barisan Oposisi Kaum Muda Mahasiswa) yang di dalamnya Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah menjadi salah satu pelopornya. Saat itu, di Jakarta dan daerah-daerah, hampir setiap pekan demonstrasi marak dilakukan, baik oleh BEM, BOKMM, ataupun organ lainnya. Terhadap Pemilu 2004 pun, saat ini hampir mayoritas dari gerakan mahasiswa menerimanya. Padahal, dari perangkat undang-undang pemilihan umum dan pemilihan presiden langsung, terdapat kekurangan yang sangat besar dan hanya mengesankan kompromi para politisi di Senayan. Hal itu tampak terlihat dari persyaratan seorang calon presiden yang hanya mengharuskan perolehan 3 % saat pemilu legislatif, diperbolehkannya seorang terdakwa mencalonkan diri, sahnya lulusan SMA sebagai kandidat, serta tidak adanya larangan seorang yang sakit mengajukan diri. Begitu juga di pemilihan legislatif, semisal: aturan-aturan tentang dana kampanye yang tidak jelas, ketidaktegasan sistem yang dipakai, serta gerak KPU dan Panwaslu yang terlihat sangat lamban dan tidak tegas. Dan yang lebih ironis lagi, penulis pernah mendengar bahwa dalam sebuah rapat akbar sebuah organisasi kemahasiswaan, terdapat aspirasi untuk mendirikan partai mahasiswa guna diikutkan dalam Pemilu 2004. Sikap mahasiswa yang mulai berubah tersebut, mungkin dikarenakan realitas politik di hadapan mereka tidak memungkinkan untuk bergerak. Hal itu bisa dikarenakan kebutuhan untuk mencari posisi aman, ketidakenakan dengan senior, atau rasa frustasi karena kurang adanya dukungan dan simpati masyarakat terhadap aksi-aksi yang mereka lakukan. Seharusnya, para mahasiswa tidak larut dalam kekecewaan dan keengganan untuk bergerak demi mengawal proses transisi menuju demokrasi yang sedang berjalan dan ditumpangi oleh para sopir dan penumpang yang tidak bertanggung jawab ini. Untuk menyegarkan aktivitas mereka, gerakan mahasiswa harus mampu mereposisi strategi dan membuat skala prioritas terhadap kebutuhan mendesak apa yang perlu mereka jalankan. Janganlah karena kurang adanya dukungan dan habisnya kesabaran yang revolusioner, mereka menjadi pragmatis dan ikut arus para politisi. Paradigma Baru Mahasiswa adalah struktur yang unik dalam tatanan masyarakat, baik dilihat dari sudut politik, ekonomi, maupun sosial. Hal dikarenakan masa ketika menjadi mahasiswa adalah masa transisi sebelum mereka melanjutkan dirinya sebagai seorang profesional, pejuang, politisi, atau pengusaha. Selain itu, keunikannya juga tampak dari kebebasan yang mereka miliki, baik kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi, atau melakukan apa pun. Komunitas mahasiswa juga merupakan satu-satunya komunitas yang paling dinamis dalam menangkap dan mengakomodasi sebuah perubahan serta paling harmonis dalam menyuarakan pendapat. Sebab, mahasiswa adalah asosiasi dari kejujuran, integritas dan semangat moral. Dalam diri mahasiswa, juga terdapat kumpulan calon cendekiawan, pahlawan, negarawan, serta profesi lainnya (Gerakan Mahasiswa, Rezim Tirani & Ideologi Reformasi, 2000). Alangkah sayangnya, jika posisi yang strategis dan unik dari mahasiswa di atas, dibiarkan begitu saja berjalan tanpa ada pemompa semangat dan simpati masyarakat. Yang sering terjadi dan dijadikan ukuran gerakan mahasiswa, memang adalah keunggulannya dalam mengkonsolidasi sebuah gerakan dan penjatuhan sebuah rezim. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa 1966, 1998, dan 2001 dianggap sukses. Sedangkan gerakan mahasiswa 1974, 1978, dan 2002 dianggap sebagai pecundang dan hanya mengacaukan ketenangan masyarakat. Penilaian seperti itu
Gelombang aksi gerakan mahasiswa Indonesia akhir-akhir ini sedang mengalami pendulum balik yang r... more Gelombang aksi gerakan mahasiswa Indonesia akhir-akhir ini sedang mengalami pendulum balik yang rada memprihatinkan. Hal itu tampak dari fenomena demonstrasi yang dilakukan menyambut ST MPR yang baru saja berlalu. Saat itu, dari elemen-elemen mahasiswa yang melakukan aksi, hanya tampak beberapa gelintir organ saja. Dan itu pun, dari presentase kelembagaan, terlihat organisasi yang besar semisal HMI, PMII, IMM, PMKRI, GMKI, dan lainnya tidak unjuk gigi memanfaatkan momen tersebut. Bila kita bandingkan dengan saat pemerintah menaikkan harga BBM, tarif telepon dan listrik awal 2003 lalu, akhir-akhir ini memang terjadi kesenjangan yang luar biasa. Pada peristiwa terdahulu, hampir keseluruhan organ mahasiswa turun ke jalan untuk memprotes kebijakan pemerintah yang paradoks. Bahkan, banyak elemen mahasiswa yang solid dan bergabung dalam wadah BOKMM (Barisan Oposisi Kaum Muda Mahasiswa) yang di dalamnya Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah menjadi salah satu pelopornya. Saat itu, di Jakarta dan daerah-daerah, hampir setiap pekan demonstrasi marak dilakukan, baik oleh BEM, BOKMM, ataupun organ lainnya. Terhadap Pemilu 2004 pun, saat ini hampir mayoritas dari gerakan mahasiswa menerimanya. Padahal, dari perangkat undang-undang pemilihan umum dan pemilihan presiden langsung, terdapat kekurangan yang sangat besar dan hanya mengesankan kompromi para politisi di Senayan. Hal itu tampak terlihat dari persyaratan seorang calon presiden yang hanya mengharuskan perolehan 3 % saat pemilu legislatif, diperbolehkannya seorang terdakwa mencalonkan diri, sahnya lulusan SMA sebagai kandidat, serta tidak adanya larangan seorang yang sakit mengajukan diri. Begitu juga di pemilihan legislatif, semisal: aturan-aturan tentang dana kampanye yang tidak jelas, ketidaktegasan sistem yang dipakai, serta gerak KPU dan Panwaslu yang terlihat sangat lamban dan tidak tegas. Dan yang lebih ironis lagi, penulis pernah mendengar bahwa dalam sebuah rapat akbar sebuah organisasi kemahasiswaan, terdapat aspirasi untuk mendirikan partai mahasiswa guna diikutkan dalam Pemilu 2004. Sikap mahasiswa yang mulai berubah tersebut, mungkin dikarenakan realitas politik di hadapan mereka tidak memungkinkan untuk bergerak. Hal itu bisa dikarenakan kebutuhan untuk mencari posisi aman, ketidakenakan dengan senior, atau rasa frustasi karena kurang adanya dukungan dan simpati masyarakat terhadap aksi-aksi yang mereka lakukan. Seharusnya, para mahasiswa tidak larut dalam kekecewaan dan keengganan untuk bergerak demi mengawal proses transisi menuju demokrasi yang sedang berjalan dan ditumpangi oleh para sopir dan penumpang yang tidak bertanggung jawab ini. Untuk menyegarkan aktivitas mereka, gerakan mahasiswa harus mampu mereposisi strategi dan membuat skala prioritas terhadap kebutuhan mendesak apa yang perlu mereka jalankan. Janganlah karena kurang adanya dukungan dan habisnya kesabaran yang revolusioner, mereka menjadi pragmatis dan ikut arus para politisi. Paradigma Baru Mahasiswa adalah struktur yang unik dalam tatanan masyarakat, baik dilihat dari sudut politik, ekonomi, maupun sosial. Hal dikarenakan masa ketika menjadi mahasiswa adalah masa transisi sebelum mereka melanjutkan dirinya sebagai seorang profesional, pejuang, politisi, atau pengusaha. Selain itu, keunikannya juga tampak dari kebebasan yang mereka miliki, baik kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi, atau melakukan apa pun. Komunitas mahasiswa juga merupakan satu-satunya komunitas yang paling dinamis dalam menangkap dan mengakomodasi sebuah perubahan serta paling harmonis dalam menyuarakan pendapat. Sebab, mahasiswa adalah asosiasi dari kejujuran, integritas dan semangat moral. Dalam diri mahasiswa, juga terdapat kumpulan calon cendekiawan, pahlawan, negarawan, serta profesi lainnya (Gerakan Mahasiswa, Rezim Tirani & Ideologi Reformasi, 2000). Alangkah sayangnya, jika posisi yang strategis dan unik dari mahasiswa di atas, dibiarkan begitu saja berjalan tanpa ada pemompa semangat dan simpati masyarakat. Yang sering terjadi dan dijadikan ukuran gerakan mahasiswa, memang adalah keunggulannya dalam mengkonsolidasi sebuah gerakan dan penjatuhan sebuah rezim. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa 1966, 1998, dan 2001 dianggap sukses. Sedangkan gerakan mahasiswa 1974, 1978, dan 2002 dianggap sebagai pecundang dan hanya mengacaukan ketenangan masyarakat. Penilaian seperti itu
Uploads
Papers by Fadli Firdaus