
David Efendi
A young lecturer at governmental Studies department of Yogyakarta Muhammadiyah University. Research interest: local politics and democracy, electoral politics, everyday politics, and social movement.
Supervisors: Dr Ehito Kimura , Dr AAGN Ari Dwipayana, Professor Benedict Kerkvliet , and Professor Nevzat Soguk
Supervisors: Dr Ehito Kimura , Dr AAGN Ari Dwipayana, Professor Benedict Kerkvliet , and Professor Nevzat Soguk
less
Related Authors
Mohamad Shohibuddin
Bogor Agricultural University, Indonesia
Muhammad Riszky
Universitas Negeri Makassar
Ariesta Wibisono Anditya
University of Malaya, Malaysia
Yesaya Sandang
Satya Wacana Christian University
Bosman Batubara
National University of Singapore
InterestsView All (8)
Uploads
Books by David Efendi
yakni demokrasi yang sedang mengarah kepada Post-Democracy atau
biasa dikenal dengan sebuah keadaan, politik demokrasi seolah-olah
berjalan baik, namun kehilangan semangat atau progresivitasnya, ini dikarenakan politik telah diambil alih oleh segelintir aktor politik yang menggunakan kekuasaannya untuk mengambil keputusan-keputusan penting orang banyak. seperti contoh adanya patronase yang menguat yang cenderung menimbulkan penguatan oligarki diranah lokal dan pusat, serta semakin maraknya pelemahan (depolitisasi) Civil Society. Beberapa pelajaran penting dari adanya post-demoracy yaitu kebijakan yang dihasilkan cenderung menimbulkan kontraversional seperti pelajaran dari Omnibuslaw, UU Mineral dan Batubara (Minerba), dan Test Wawasan Kebangsaan Komisi Pemberantasan Korupsi (TWK KPK) yang justru melemahkan demokrasi itu sendiri. Langkah startegis yang disarankan dalam memperkuat Demokrasi ditengah Pandemi dan dimasa datang yaitu Pertama, dibutuhkan gerakan sosial politik arus bawah yang kuat dengan kerja kolaborasi lintas organisasi civil society. Kedua, dibutuhkan Reformasi Partai Politik dan Ketiga, Penguatan Kelembagaan. Tujuan adanya reformasi ini yaitu sebagai bentuk adanya checks and balances sehingga demokrasi bekerja dengan prima.
Keywords: Decentralized Democracy, Political Dynasty, Bourgeoisie, Local Politics, Cultural Production, Tourism.
As conclusion, this research findings are anomaly with another finding. First, good governance approach in funding are made to be preferred procedure in creating various program and privilege activities. Second, the philosophical debate were so dominant in three years instead in more substantial programs related to social welfare. Third, a large proportion of the budget allocation had been spent in cultural events creating a serious public apathy where the principle of privilege and power for the welfare is still far away. It is becoming provocative summery that the implementation of privilege regions during first three years is facing a condition like big budgets but low Impact.
Keywords: Asymmetrical democracy, DIY, Evaluation, Welfare.
Papers by David Efendi
bertujuan mengubah Pulau Rempang menjadi kawasan industri, perdagangan, dan
wisata. Meskipun proyek ini diumumkan sebagai bagian dari Proyek Strategis
Nasional dengan investasi besar, ia telah memicu konflik sosial dan pelanggaran hak
asasi manusia. Konflik ini muncul akibat penolakan masyarakat Rempang terhadap
penggusuran dan pengabaian hak-hak dasar, termasuk hak atas tempat tinggal dan
pekerjaan yang layak. Masyarakat Pulau Rempang, yang mayoritas adalah nelayan
dan petani, menghadapi ancaman pengusiran dari tanah leluhur mereka, dan memicu
serangkaian unjuk rasa dan bentrokan dengan aparat keamanan. Temuan ini juga
mengeksplorasi peran berbagai kelompok masyarakat sipil dan lembaga hukum yang
mendukung perjuangan warga Pulau Rempang. Ini termasuk pendampingan hukum,
strategi advokasi, dan pemetaan tanah partisipatif untuk membela hak-hak warga
(social justice) dan lingkungan hidup (ecological justice). Lebih lanjut, Kajian ini
mengkritik kebijakan pemerintah pusat dan perusahaan pengembang yang
mengabaikan keberlangsungan hidup, hak warga, dan budaya masyarakat lokal serta
kelestarian lingkungan dari PSN ini. Kajian ini mengungkapkan bahwa meskipun ada
bagian warga yang mendukung proyek ini dengan beragam faktornya, perlu dicatat
mayoritas warga tetap menolak dan menunjukkan solidaritas kuat di tengah
tantangan ekonomi politik. Kajian ini mendalilkan bahwa pengembangan Rempang
Eco City merupakan contoh klasik dari konflik antara kepentingan pembangunanismedan ekonomi korporasi dengan kegentingan pemeliharaan hak asasi manusia dankelestarian lingkungan hidup. Laporan ini hendak menyoroti kebutuhan mendesakuntuk pendekatan yang lebih adil, pro-rakyat, inklusif, dan berkelanjutan dalampembangunan nasional dua dekade terakhir ini.
Methodology: This is a critical qualitative approach with in-depth interviews and participatory observation over several months. Participatory observation was conducted through immersive participation in Acehnese coffee shops as public spaces and in-depth interviews with coffee shop managers, community leaders, and regular customers.
Findings: The Acehnese unique cultural and social culture of coffee drinking plays a dynamic role with Acehnese community’s relationship with politics. This culture facilitates the existence of Acehnese identity in Yogyakarta and intensifies political participation through informal discussion. Acehnese coffee shops are free and autonomous public spaces, which are collectively owned and persevered by the community.
Implication: Informal politics and local identity expressed through far political distances are interesting in Indonesia to examine social cohesion and capital nationwide. Out study also develops a model contributes to political science in Indonesian by explaining the relationship between informal and formal politics. It helps explain differences of different cultural and ethnic groups in Indonesia.
Originality: Our paper investigates the perspective of local politics within Indonesian politics. Furthermore, most contemporary political research focuses on formal and official politics, while this paper uncovers long distance informal politics embedded in unique Acehnese social culture in coffee shops. The civic contribution of Acehnese coffee shops as a public place in Indonesian democracy is convincingly established in this paper.
Keywords: Public Spaces, Acehnese Coffee Shops, Political Participation, Identity, Local Politics
Keywords: Social local government, socialmedia use, networking, transformation, engagement.
keywords: Developmentalism, Graffiti, Protest movement, everyday politics, resistance
yakni demokrasi yang sedang mengarah kepada Post-Democracy atau
biasa dikenal dengan sebuah keadaan, politik demokrasi seolah-olah
berjalan baik, namun kehilangan semangat atau progresivitasnya, ini dikarenakan politik telah diambil alih oleh segelintir aktor politik yang menggunakan kekuasaannya untuk mengambil keputusan-keputusan penting orang banyak. seperti contoh adanya patronase yang menguat yang cenderung menimbulkan penguatan oligarki diranah lokal dan pusat, serta semakin maraknya pelemahan (depolitisasi) Civil Society. Beberapa pelajaran penting dari adanya post-demoracy yaitu kebijakan yang dihasilkan cenderung menimbulkan kontraversional seperti pelajaran dari Omnibuslaw, UU Mineral dan Batubara (Minerba), dan Test Wawasan Kebangsaan Komisi Pemberantasan Korupsi (TWK KPK) yang justru melemahkan demokrasi itu sendiri. Langkah startegis yang disarankan dalam memperkuat Demokrasi ditengah Pandemi dan dimasa datang yaitu Pertama, dibutuhkan gerakan sosial politik arus bawah yang kuat dengan kerja kolaborasi lintas organisasi civil society. Kedua, dibutuhkan Reformasi Partai Politik dan Ketiga, Penguatan Kelembagaan. Tujuan adanya reformasi ini yaitu sebagai bentuk adanya checks and balances sehingga demokrasi bekerja dengan prima.
Keywords: Decentralized Democracy, Political Dynasty, Bourgeoisie, Local Politics, Cultural Production, Tourism.
As conclusion, this research findings are anomaly with another finding. First, good governance approach in funding are made to be preferred procedure in creating various program and privilege activities. Second, the philosophical debate were so dominant in three years instead in more substantial programs related to social welfare. Third, a large proportion of the budget allocation had been spent in cultural events creating a serious public apathy where the principle of privilege and power for the welfare is still far away. It is becoming provocative summery that the implementation of privilege regions during first three years is facing a condition like big budgets but low Impact.
Keywords: Asymmetrical democracy, DIY, Evaluation, Welfare.
bertujuan mengubah Pulau Rempang menjadi kawasan industri, perdagangan, dan
wisata. Meskipun proyek ini diumumkan sebagai bagian dari Proyek Strategis
Nasional dengan investasi besar, ia telah memicu konflik sosial dan pelanggaran hak
asasi manusia. Konflik ini muncul akibat penolakan masyarakat Rempang terhadap
penggusuran dan pengabaian hak-hak dasar, termasuk hak atas tempat tinggal dan
pekerjaan yang layak. Masyarakat Pulau Rempang, yang mayoritas adalah nelayan
dan petani, menghadapi ancaman pengusiran dari tanah leluhur mereka, dan memicu
serangkaian unjuk rasa dan bentrokan dengan aparat keamanan. Temuan ini juga
mengeksplorasi peran berbagai kelompok masyarakat sipil dan lembaga hukum yang
mendukung perjuangan warga Pulau Rempang. Ini termasuk pendampingan hukum,
strategi advokasi, dan pemetaan tanah partisipatif untuk membela hak-hak warga
(social justice) dan lingkungan hidup (ecological justice). Lebih lanjut, Kajian ini
mengkritik kebijakan pemerintah pusat dan perusahaan pengembang yang
mengabaikan keberlangsungan hidup, hak warga, dan budaya masyarakat lokal serta
kelestarian lingkungan dari PSN ini. Kajian ini mengungkapkan bahwa meskipun ada
bagian warga yang mendukung proyek ini dengan beragam faktornya, perlu dicatat
mayoritas warga tetap menolak dan menunjukkan solidaritas kuat di tengah
tantangan ekonomi politik. Kajian ini mendalilkan bahwa pengembangan Rempang
Eco City merupakan contoh klasik dari konflik antara kepentingan pembangunanismedan ekonomi korporasi dengan kegentingan pemeliharaan hak asasi manusia dankelestarian lingkungan hidup. Laporan ini hendak menyoroti kebutuhan mendesakuntuk pendekatan yang lebih adil, pro-rakyat, inklusif, dan berkelanjutan dalampembangunan nasional dua dekade terakhir ini.
Methodology: This is a critical qualitative approach with in-depth interviews and participatory observation over several months. Participatory observation was conducted through immersive participation in Acehnese coffee shops as public spaces and in-depth interviews with coffee shop managers, community leaders, and regular customers.
Findings: The Acehnese unique cultural and social culture of coffee drinking plays a dynamic role with Acehnese community’s relationship with politics. This culture facilitates the existence of Acehnese identity in Yogyakarta and intensifies political participation through informal discussion. Acehnese coffee shops are free and autonomous public spaces, which are collectively owned and persevered by the community.
Implication: Informal politics and local identity expressed through far political distances are interesting in Indonesia to examine social cohesion and capital nationwide. Out study also develops a model contributes to political science in Indonesian by explaining the relationship between informal and formal politics. It helps explain differences of different cultural and ethnic groups in Indonesia.
Originality: Our paper investigates the perspective of local politics within Indonesian politics. Furthermore, most contemporary political research focuses on formal and official politics, while this paper uncovers long distance informal politics embedded in unique Acehnese social culture in coffee shops. The civic contribution of Acehnese coffee shops as a public place in Indonesian democracy is convincingly established in this paper.
Keywords: Public Spaces, Acehnese Coffee Shops, Political Participation, Identity, Local Politics
Keywords: Social local government, socialmedia use, networking, transformation, engagement.
keywords: Developmentalism, Graffiti, Protest movement, everyday politics, resistance
Praktik gerakan Literasi aktual juga semakin kompleks bila dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin cepat. Miliaran informasi dari berbagai belahan dunia dapat mudah diakses setiap hari. Padahal tidak semua informasi itu bermanfaat, banyak di antaranya yang tidak konstruktif atau bahkan berbahaya bagi pembangunan keadaban. Dalam konteks itu perlu dikembangkan literasi digital yang mengedepankan keutamaan-keutamaan hidup bersama. Hal ini mendesak semua orang untuk terlibat di dalam gerakan ini sehingga berbagai kreatifitas, taktik, gaya, model, pola di dalam mengembangkan aspek-aspek literasi dalam arti luas dapat bekerja lebih baik. Semoga bermanfaat dan selamat bergerak menggembirakan takdir literasi bangsa ini.