Mengacu terhadap ketentuan pasal 8 ayat 2 (c) dan (e) Statuta Roma yang mana pasal tersebut tundu... more Mengacu terhadap ketentuan pasal 8 ayat 2 (c) dan (e) Statuta Roma yang mana pasal tersebut tunduk pada ketentuan pembatasan yang ditetapkan pada pasal 8 ayat 2 (d) dan (f) yang bukan merupakan unsur kejahatan. Unsur-Unsur kejahatan perang dibawah pasal 8 ayat 2 dari Statuta Roma harus ditafsirkan dengan memperhatikan kerangka yang sudah dikembangkan dalam hukum internasional tentang konflik bersenjata yang mencakupi sebagaimana mestinya. Berkaitan dengan 2 unsur terakhir yang terdapat dalam masing-masing kejahatan didapatkan 3 poin utama : ■ Tidak memerlukan persyaratan untuk evaluasi hukum oleh pelaku tentang eksistensi atau status konflik bersenjata atau karakternya sebagai bersfat nasional atau internasional; ■ Dalam konteks tersebut, tidak diperlukan persyaratan soal kesadaran dari pelaku untuk fakta-fakta yang menentukan karakter konflik sebagai konflik nasional atau internasional; ■ Hanya ada persyaratan soal kesadaran akan situasi atau keadaan nyata yang menyebabkan atau menentukan eksistensi konflik bersenjata yang implisit. 1 Berikut beberapa pasal terkait kejahatan perang dalam Statuta Roma beserta penjabaran unsur-unsurnya : Pasal 8 (2) (a) Pasal 8 (2) (a) (i) Kejahatan perang berupa pembunuhan yang dilakukan dengan sadar Unsur-Unsurnya 1. Pelaku pembunuh satu orang atau lebih orang (istilah membunuh dapat digunakan secara bergantian dengan terminologi "menyebabkan kematian" yang berlaku bagi semua unsur-unsur yang menggunakan salah satu diantara dia konsep tersebut); 2. Orang atau orang-orang tersebut (yang dibunuh) dilindungi satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949; 3. Pelaku menyadari atau tahu soal keadaan atau situasi faktual yang menentukan status dilindungi itu. 4. Tindakan atau perbuatan tersebut terjadi dalam konteks dan dalam kaitan dengan konflik bersenjata internasional (istilah "konflik bersenjata internasional" mencakupi juga pendudukan militer) 5. Pelaku menyadari atau tahu soal keadaan atau situasi faktual yang menentukan eksistensi konflik bersenjata itu.
Diajukan guna memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah sosiologi hukum Disusun oleh: Alif... more Diajukan guna memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah sosiologi hukum Disusun oleh: Alif Pratama Putra 110110150005 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJAJARAN JATINANGOR BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut telah ditegaskan oleh bangsa Indonesia dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pernyataan tersebut menunjukkan begitu sentralnya posisi dan kedudukan hukum dalam perjalanan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Hukum diharapkan bukan menjadi sesuatu hal yang ditakuti oleh masyarakat, namun hukum haruslah dijadikan sarana bagi suatu bangsa dan negara untuk mencapai kesejahteraan. Secara hisoris makna "negara hukum" dalam UUD 1945 tersebut bersumber dari rumusan dalam Penjelasan UUD 1945. Sekalipun agak berbeda dengan istilah "negara berdasar atas hukum" dalam Penjelasan UUD 1945, tetapi istilah "negara hukum" dalam Penjelasan UUD 1945 jelas mengacu pada konsep Rechtsstaat yang berkembang dalam tradisi hukum Eropa Kontinental. Oleh karena itu, secara historis istilah "negara hukum" dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 juga merujuk pada konsep Rechtsstaat, dan bukan merujuk pada konsep Rule of Law. Rujukan pada konsep Rechtsstaat tersebut sudah tentu memiliki konsekuensi yang berbeda dibandingkan bila merujuk pada konsep Rule of Law. Konsekuensinya adalah diberlakukan undang-undang sebagai suatu kaidah hukum dalam setiap penyelenggaraan negara. Undang-undang dimaknai sebagai manifestasi dari pembatasan kekuasaan sebagai tujuan dari konsep negara hukum pun, di lain sisi undang-undang haruslah dipahami sebagai sarana guna mencapai kesejahteraan. Oleh karenanya segala jenis undang-undang di Indonesia haruslah memiliki tujuan mutlak yang sama, yakni guna mewujudkan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia. Salah satu undang-undang yang begitu fundamental dalam kaitannya dengan perwujudan kesejahteraan Indonesia adalah Undang-Undang terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Adanya UU APBN setiap tahun bukan hanya sebagai kewajiban dari pemerintah terhadap rakyat, melainkan bentuk komitmen pemerintah terhadap keterbukaan informasi bagi rakyatnya. Sehingga rakyat bisa menilai dan mengawal hendak dibawa kemana arah pembangunan dan jalannya negara ini. Meskipun memiliki tujuan yang baik, nyatanya tindakan-tindakan jahat masih saja terjadi pada APBN. Dituliskannya APBN ke dalam bentuk APBN tidak menjamin tiadanya pelanggaran dalam penyelenggaraannya, khususnya korupsi. Banyak faktor yang begitu mempengaruhi penegakan hukum terkait UU APBN. Tulisan ini akan mengkaji terkait apa saja faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dalam UU APBN untuk tahun 2015. Tulisan ini diberi judul "Korupsi, ancaman dalam UU NO. 27 Tahun 2014 Tentang APBN dikaitkan dengan Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum". B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana korupsi dapat mengancam jalannya pemerintahan melalui UU No. 27 Tahun 2014 tentang APBN? 2. Bagaimana keberadaan UU No. 27 Tahun 2014 tentang APBN dikaitkan dengan teori faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum? BAB II PEMBAHASAN A. Penegakan Hukum: Inti dan Artinya Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. 1 Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandanganpandangan tertentu mengenai apa yang baik dan buruk. Pasangan nilai tersebut perlu penjabaran lebih konkret lagi karena nilai-nilai lazimnya bersifat abstrak. Penjabaran tersebut terjadi pada bentuk kaidah-kaidah, dalam hal ini kaidah hukum yang berisi suruhan, larangan, atau kebolehan. Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman bagi setiap sikap yang dianggap pantas atau yang seharusnya. Atas dasar uraian tersebut dapat dikatakan bahwa gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara "tritunggal" nilai, kaidah, dan pola perilaku. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor sebagai berikut: 2 Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum. B. Korupsi Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrumpere berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/ politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. 3 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi secara harfiah berarti: buruk, rusak, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan padanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Adapun arti terminologinya, korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. 4 Menurut David H. Bayley, Korupsi sebagai "perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan itikad buruk (seperti misalnya, suapan) agar ia melakukan pelanggaran kewajibannya". Lalu suapan (sogokan) diberi definisi sebagai "hadiah, penghargaan, pemberian atau keistimewaan yang dianugerahkan atau dijanjikan, dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah laku, terutama seorang dari dalam kedudukan terpercaya (sebagai pejabat pemerintah). 5 Jadi korupsi sekalipun khusus terkait dengan penyuapan atau penyogokan, adalah istilah umum yang mencakup penyalahgunaan wewenang sebagai hasil 3 Muhammad Shoim, Laporan Penelitian Individual (Pengaruh Pelayanan Publik Terhadap Tingkat Korupsi pada Lembaga Peradilan di Kota Semarang), Semaran: Pusat Penelitian IAIN Walisongo g, 2009, hal 14. 4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, , 1995, hal. 527 5 BPKP, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pengawasan BPKP, , Cet I, 1999, h. 263 1. Peranan yang ideal (ideal role) 2. Peranan yang seharusnya (expected role) 3. Peranan yang dianggap oleh dirinya sendiri (perceived role) 4. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role) Seorang penegak hukum, lazimnya memiliki beberapa kedudukan dan peran sekaligus. Tidaklah mustahil akan terjadi konflik antara pelbagai kedudukan dan peran. Ataupun terjadi kesenjangan peranan. Masalah peranan dianggap penting, oleh karena pembahasan terhadap penegak hukum lebih banyak tertuju pada diskresi. Di dalam penegakan hukum diskresi dianggap sangat penting, oleh karena: 1. Tidak ada perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya, hingga mampu mengatur semua perilaku manusia; 2. Adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan perundang-undangan dengan perkembangan di masyarakat yang menimbulkan ketidakpastian. 3. Kurangnya biaya untuk menerapkan undang-undang sebagaimana mestinya; 4. Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus. Halangan-halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan panutan atau penegak hukum, mungkin berasal dari dirinya sendiri atau dari lingkungan. Halangan-halangan tersebut adalah: 1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi; 2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi; 3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi; 4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materiel; 5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
Mengacu terhadap ketentuan pasal 8 ayat 2 (c) dan (e) Statuta Roma yang mana pasal tersebut tundu... more Mengacu terhadap ketentuan pasal 8 ayat 2 (c) dan (e) Statuta Roma yang mana pasal tersebut tunduk pada ketentuan pembatasan yang ditetapkan pada pasal 8 ayat 2 (d) dan (f) yang bukan merupakan unsur kejahatan. Unsur-Unsur kejahatan perang dibawah pasal 8 ayat 2 dari Statuta Roma harus ditafsirkan dengan memperhatikan kerangka yang sudah dikembangkan dalam hukum internasional tentang konflik bersenjata yang mencakupi sebagaimana mestinya. Berkaitan dengan 2 unsur terakhir yang terdapat dalam masing-masing kejahatan didapatkan 3 poin utama : ■ Tidak memerlukan persyaratan untuk evaluasi hukum oleh pelaku tentang eksistensi atau status konflik bersenjata atau karakternya sebagai bersfat nasional atau internasional; ■ Dalam konteks tersebut, tidak diperlukan persyaratan soal kesadaran dari pelaku untuk fakta-fakta yang menentukan karakter konflik sebagai konflik nasional atau internasional; ■ Hanya ada persyaratan soal kesadaran akan situasi atau keadaan nyata yang menyebabkan atau menentukan eksistensi konflik bersenjata yang implisit. 1 Berikut beberapa pasal terkait kejahatan perang dalam Statuta Roma beserta penjabaran unsur-unsurnya : Pasal 8 (2) (a) Pasal 8 (2) (a) (i) Kejahatan perang berupa pembunuhan yang dilakukan dengan sadar Unsur-Unsurnya 1. Pelaku pembunuh satu orang atau lebih orang (istilah membunuh dapat digunakan secara bergantian dengan terminologi "menyebabkan kematian" yang berlaku bagi semua unsur-unsur yang menggunakan salah satu diantara dia konsep tersebut); 2. Orang atau orang-orang tersebut (yang dibunuh) dilindungi satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949; 3. Pelaku menyadari atau tahu soal keadaan atau situasi faktual yang menentukan status dilindungi itu. 4. Tindakan atau perbuatan tersebut terjadi dalam konteks dan dalam kaitan dengan konflik bersenjata internasional (istilah "konflik bersenjata internasional" mencakupi juga pendudukan militer) 5. Pelaku menyadari atau tahu soal keadaan atau situasi faktual yang menentukan eksistensi konflik bersenjata itu.
Diajukan guna memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah sosiologi hukum Disusun oleh: Alif... more Diajukan guna memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah sosiologi hukum Disusun oleh: Alif Pratama Putra 110110150005 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJAJARAN JATINANGOR BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut telah ditegaskan oleh bangsa Indonesia dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pernyataan tersebut menunjukkan begitu sentralnya posisi dan kedudukan hukum dalam perjalanan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Hukum diharapkan bukan menjadi sesuatu hal yang ditakuti oleh masyarakat, namun hukum haruslah dijadikan sarana bagi suatu bangsa dan negara untuk mencapai kesejahteraan. Secara hisoris makna "negara hukum" dalam UUD 1945 tersebut bersumber dari rumusan dalam Penjelasan UUD 1945. Sekalipun agak berbeda dengan istilah "negara berdasar atas hukum" dalam Penjelasan UUD 1945, tetapi istilah "negara hukum" dalam Penjelasan UUD 1945 jelas mengacu pada konsep Rechtsstaat yang berkembang dalam tradisi hukum Eropa Kontinental. Oleh karena itu, secara historis istilah "negara hukum" dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 juga merujuk pada konsep Rechtsstaat, dan bukan merujuk pada konsep Rule of Law. Rujukan pada konsep Rechtsstaat tersebut sudah tentu memiliki konsekuensi yang berbeda dibandingkan bila merujuk pada konsep Rule of Law. Konsekuensinya adalah diberlakukan undang-undang sebagai suatu kaidah hukum dalam setiap penyelenggaraan negara. Undang-undang dimaknai sebagai manifestasi dari pembatasan kekuasaan sebagai tujuan dari konsep negara hukum pun, di lain sisi undang-undang haruslah dipahami sebagai sarana guna mencapai kesejahteraan. Oleh karenanya segala jenis undang-undang di Indonesia haruslah memiliki tujuan mutlak yang sama, yakni guna mewujudkan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia. Salah satu undang-undang yang begitu fundamental dalam kaitannya dengan perwujudan kesejahteraan Indonesia adalah Undang-Undang terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Adanya UU APBN setiap tahun bukan hanya sebagai kewajiban dari pemerintah terhadap rakyat, melainkan bentuk komitmen pemerintah terhadap keterbukaan informasi bagi rakyatnya. Sehingga rakyat bisa menilai dan mengawal hendak dibawa kemana arah pembangunan dan jalannya negara ini. Meskipun memiliki tujuan yang baik, nyatanya tindakan-tindakan jahat masih saja terjadi pada APBN. Dituliskannya APBN ke dalam bentuk APBN tidak menjamin tiadanya pelanggaran dalam penyelenggaraannya, khususnya korupsi. Banyak faktor yang begitu mempengaruhi penegakan hukum terkait UU APBN. Tulisan ini akan mengkaji terkait apa saja faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dalam UU APBN untuk tahun 2015. Tulisan ini diberi judul "Korupsi, ancaman dalam UU NO. 27 Tahun 2014 Tentang APBN dikaitkan dengan Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum". B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana korupsi dapat mengancam jalannya pemerintahan melalui UU No. 27 Tahun 2014 tentang APBN? 2. Bagaimana keberadaan UU No. 27 Tahun 2014 tentang APBN dikaitkan dengan teori faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum? BAB II PEMBAHASAN A. Penegakan Hukum: Inti dan Artinya Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. 1 Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandanganpandangan tertentu mengenai apa yang baik dan buruk. Pasangan nilai tersebut perlu penjabaran lebih konkret lagi karena nilai-nilai lazimnya bersifat abstrak. Penjabaran tersebut terjadi pada bentuk kaidah-kaidah, dalam hal ini kaidah hukum yang berisi suruhan, larangan, atau kebolehan. Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman bagi setiap sikap yang dianggap pantas atau yang seharusnya. Atas dasar uraian tersebut dapat dikatakan bahwa gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara "tritunggal" nilai, kaidah, dan pola perilaku. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor sebagai berikut: 2 Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum. B. Korupsi Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrumpere berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/ politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. 3 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi secara harfiah berarti: buruk, rusak, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan padanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Adapun arti terminologinya, korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. 4 Menurut David H. Bayley, Korupsi sebagai "perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan itikad buruk (seperti misalnya, suapan) agar ia melakukan pelanggaran kewajibannya". Lalu suapan (sogokan) diberi definisi sebagai "hadiah, penghargaan, pemberian atau keistimewaan yang dianugerahkan atau dijanjikan, dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah laku, terutama seorang dari dalam kedudukan terpercaya (sebagai pejabat pemerintah). 5 Jadi korupsi sekalipun khusus terkait dengan penyuapan atau penyogokan, adalah istilah umum yang mencakup penyalahgunaan wewenang sebagai hasil 3 Muhammad Shoim, Laporan Penelitian Individual (Pengaruh Pelayanan Publik Terhadap Tingkat Korupsi pada Lembaga Peradilan di Kota Semarang), Semaran: Pusat Penelitian IAIN Walisongo g, 2009, hal 14. 4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, , 1995, hal. 527 5 BPKP, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pengawasan BPKP, , Cet I, 1999, h. 263 1. Peranan yang ideal (ideal role) 2. Peranan yang seharusnya (expected role) 3. Peranan yang dianggap oleh dirinya sendiri (perceived role) 4. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role) Seorang penegak hukum, lazimnya memiliki beberapa kedudukan dan peran sekaligus. Tidaklah mustahil akan terjadi konflik antara pelbagai kedudukan dan peran. Ataupun terjadi kesenjangan peranan. Masalah peranan dianggap penting, oleh karena pembahasan terhadap penegak hukum lebih banyak tertuju pada diskresi. Di dalam penegakan hukum diskresi dianggap sangat penting, oleh karena: 1. Tidak ada perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya, hingga mampu mengatur semua perilaku manusia; 2. Adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan perundang-undangan dengan perkembangan di masyarakat yang menimbulkan ketidakpastian. 3. Kurangnya biaya untuk menerapkan undang-undang sebagaimana mestinya; 4. Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus. Halangan-halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan panutan atau penegak hukum, mungkin berasal dari dirinya sendiri atau dari lingkungan. Halangan-halangan tersebut adalah: 1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi; 2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi; 3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi; 4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materiel; 5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
Uploads
Papers by Alif Pratama