BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Respiratory Distress Syndrom (RDS) atau Sindrom Distres Perna... more BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Respiratory Distress Syndrom (RDS) atau Sindrom Distres Pernapasan merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang baru lahir dengan masa gestasi kurang (Suriadi dan Yulianni, 2006). Secara klinis bayi dengan RDS menunjukkan takipnea, pernapasan cuping hidung, retraksi interkosta dan subkosta, expiratory grunting (merintih) dalam beberapa jam pertama kehidupan. Tanda-tanda klinis lain, seperti: hipoksemia dan polisitema. Tanda-tanda lain RDS meliputi hipoksemia, hiperkabia, dan asidosis respiratory atau asidosis campuran (Kompas, 2012). Angka kejadian RDS di Eropa sebelum pemberian rutin antenatal steroid dan postnatal surfaktan sebanyak 2-3 %, di USA 1,72% dari kelahiran bayi hidup periode 1998 -1987. Secara tinjauan kasus, di negara-negara Eropa sebelum pemberian rutin antenatal steroid dan postnatal surfaktan, terdapat angka kejadian RDS 2-3%, di USA 1,72% dari kelahiran bayi hidup periode 1986-1987. Sedangkan jaman moderen sekarang ini dari pelayanan NICU turun menjadi 1% di Asia Tenggara. Di Asia Tenggara penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur adalah RDS. Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500 gram. Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan dan menurun sejak digunakan surfaktan eksogen. Saat ini RDS didapatkan kurang dari 6% dari seluruh neonatus. Di negara berkembang termasuk Indonesia belum ada laporan tentang kejadian RDS (WHO, 2012). Dampak lanjut dari kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Respiratory Distress Syndrom (RDS) atau Sindrom Distres Perna... more BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Respiratory Distress Syndrom (RDS) atau Sindrom Distres Pernapasan merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang baru lahir dengan masa gestasi kurang (Suriadi dan Yulianni, 2006). Secara klinis bayi dengan RDS menunjukkan takipnea, pernapasan cuping hidung, retraksi interkosta dan subkosta, expiratory grunting (merintih) dalam beberapa jam pertama kehidupan. Tanda-tanda klinis lain, seperti: hipoksemia dan polisitema. Tanda-tanda lain RDS meliputi hipoksemia, hiperkabia, dan asidosis respiratory atau asidosis campuran (Kompas, 2012). Angka kejadian RDS di Eropa sebelum pemberian rutin antenatal steroid dan postnatal surfaktan sebanyak 2-3 %, di USA 1,72% dari kelahiran bayi hidup periode 1998 -1987. Secara tinjauan kasus, di negara-negara Eropa sebelum pemberian rutin antenatal steroid dan postnatal surfaktan, terdapat angka kejadian RDS 2-3%, di USA 1,72% dari kelahiran bayi hidup periode 1986-1987. Sedangkan jaman moderen sekarang ini dari pelayanan NICU turun menjadi 1% di Asia Tenggara. Di Asia Tenggara penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur adalah RDS. Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500 gram. Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan dan menurun sejak digunakan surfaktan eksogen. Saat ini RDS didapatkan kurang dari 6% dari seluruh neonatus. Di negara berkembang termasuk Indonesia belum ada laporan tentang kejadian RDS (WHO, 2012). Dampak lanjut dari kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal
Uploads
Papers by Alfa Safru