Ada tiga revolusi penting yang membentuk jalannya sejarah umat manusia (Harari, 2011: 3); revolus... more Ada tiga revolusi penting yang membentuk jalannya sejarah umat manusia (Harari, 2011: 3); revolusi kognitif sekitar 70.000 tahun lalu, kemudian dilanjutkan revolusi agrikultur sekitar 12.000 tahun yang lalu, dan terakhir revolusi saintifik yang baru mulai berjalan sekitar 500 tahun yang lalu. Begitu cerita sejarah kata Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Sapiens. Sejarah selanjutnya, kata Harari dalam bukunya Homo Deus, bahwa Homo sapiens kini tak lagi mengahadapi persoalan utama mereka; kelaparan. wabah, dan perang. Sekarang lebih banyak orang mati karena terlalu banyak makan dibanding orang mati karena kelaparan; sekarang lebih banyak orang yang mati karena lanjut usia ketimbang karena penyakit menular; dan sekarang lebih banyak orang yang melakukan bunuh diri dibanding jumlah gabungan orang yang dibunuh oleh tentara, teroris, dan penjahat (Harari, 2011: 2). Namun demikian, jika pun secara statistik klaim Harari itu benar adanya, bahwa angka-angaka kelaparan, wabah penyakit, dan perang, sudah bisa ditekan, faktanya manusia abad modern kini tetap menghadapi permaslahan yang sama. Permasalahan itu tidak nol sama sekali. Maslah kini tidak lagi angka statistic vertical, tapi lebih melebar ke samping. Misalnya, bagaimana menyelesaikan persoalan kesejahteraan di mana satu persen populasi menguasai sembilan puluh persen sumber daya, dan sebaliknya, Sembilan puluh persen populasi berdempetan dan berebut satu persen sumber daya. Belum lagi, kata Ken Wilber dalam bukunya A Theory of Everything (2012: 108) manusia kini mengahadapi permaslahan fundamental berskala besar, yakni semakin jauhnya manusia dari perkembangan integral. Manusia, di satu sisi telah menguasai teknologi hingga merancang kecerdasan buatan (artificial intellegent), namun tidak dibarengi kesadaran kosmos, bahwa manusia adalah bagian integral dari alam, maka di situlah manusia, kata Wilber menghadapi sejarah kepunahannnya. Karena itu permasalahan manusia antar sesamanya, atau lazim kita sebut permaslahan sosial harus terus menerus menjadi konsen perhatian semua intelektual. Permasalalahan sosial denga segala derivasi dan turunannya mesti menjadi fokus 1
Qui apeur de la philosophie? Siapa takut filsafat? --Jacques Derrida Ya, siapa takut filsafat? Pe... more Qui apeur de la philosophie? Siapa takut filsafat? --Jacques Derrida Ya, siapa takut filsafat? Pertanyaan Filsuf Perancis tersebut memang cukup menjadi alasan mengapa kita tak mesti takut mempelajari filsafat. Filsafat kata Derrida adalah hak semua orang, karena filsafat adalah puisi. Filsafat layaknya karya sastra mesti dipelajari bahkan oleh murid sekolah. Filsafat itu bertanya. Dan, kita selalu bertanya. Apapun yang ada di hadapan kita selalu kita pertanyakan. Namun kita, kata Franz Magnis-Suseno adalah makhluk yang tak pernah sampai. Mangapa? setidaknya, kata Franz ada dua kenyataan pada manusia yang tampaknya berlawanan dan membuatnya selalu ingin mengetahui lebih jauh. 1 Pertama, karena hanya dengan tahu manusia dapat bertindak. Ia bertindak karena segala macam alasan, diantaranya yang paling dasar adalah bahwa ia terdorong memenuhi kebutuhankebutuhannya, jadi apa yang dirasakan dibutuhkannya: ya makan dan minum dan lain-lain kebutuhan jasmani, tetapi juga kebutuhan akan manusia lainnya. Untuk itu ia harus tahu, misalanya tahu dari mana memperoleh makanan atau di mana ibunya. Kedua, yang khas bagi manusia adalah bahwa ia selalu mau tahu lebih jauh. Itu karena sifat manusia yang kedua: manusia berwawasan tak terbatas. Pengetahuan manusia selalu terbatas. Tetapi wawasannya tidak terbatas. Maka tak pernah ada pengetahuan yang dapat memenuhi cakrawala perhatiannya. Karena itu manusia bertanya terus. Gambaran cukup jelas tentang karakter manusia ini bisa kita lihat dari testimoni Al-Ghazali (1058-1111 M) yang fenomenal, Sejak muda hingga saat ini, ketika usiaku menjelang limapuluh tahun, kuarungi ombak lautan yang dalam ini, kutemukan berbagai rahasia aliran semua kelompok. Aku tidak meninggalkan kelompok batiniah kecuali telah kutelaah kebatiniahannya. Aku tidak meninggalkan kelompok zhahiri kecuali telah kukuasai kezhahiriahannya. Tidak kutinggalkan kelompok filosof kecuali setelah aku menguasai hakikat filsafatnya. Tidak kutinggalkan kelompok teologis, kecuali kau telah benar-benar mengkaji puncak teologis dan perdebatannya, tidak kutinggalkan kelompok sufi kecuali aku telah menelusuri kesufiannya, tidak juga kelompok zindik kecuali aku telah meneliti sebab-sebab di balik keberanian dan kezindikannya. Rasa penasaran untuk mengetahui hakikat semua persoalan di atasa selalu menghantuiku sejak aku masih muda. Tampaknya, hal itu merupakan instink dan fitrah dari Allah swt yang disimpan dalam benakku, bukan karena kemauan dan keinginanku. 2 1 Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, 2006, Jakarta, Penerbit Knaisius, hal. 17 Uraian Al-Gazali tersebut memberi gambaran bahwa manusia senantiasa bertanya. Karena memang manusia memiliki perangkat yang memadai: akal. Kata akal adalah translasi dari bahasa Arab aqala. Di lain kesempatan Al-Gazali memuji akal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertiana filsafat adalah; 1) pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya; 2) teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan; 3) ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemology; 4) falsafah. 3 Jadi filsafat adalah penyelidikan dengan akal budi. Dengan kemampuan logika kita. Dan karena itu salah satu definisi filsafat adalah usaha memahami dan mengerti dunia dalam hal makna dan nilai-nilainya. 4 Nicolaus Driyarkara mendeskripsikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang mengenai segala sesuatu dengan memandang sebab-sebab yang terdalam, tercapai dengan budi murni (philosophy is the science which by the natural light of reason studies the first causes or highest principles of all things). Selanjutnya Driyarkara menyimpulkan bahwa; Objek filsafat: segala sesuatu yang ada; Sudut pandangnya: sebab-sebab yang terdalam; Sifat-sifat filsafat: sifat-sifat ilmu; Jalannya filsafat dalam usaha mencari jawaban-jawaban: dengan berdasarkan kekuatan pikiran manusia, tak berdasarkan wahyu Tuhan atau pertolongan istimewa dari agama/Tuhan. 5
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS DJU... more PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS DJUANDA BOGOR 2016 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apa yang saya kerjakan tempo hari, ialah sekadar memformulir perasaan-perasaan yang ada di kalangan rakyat dengan beberapa kata-kata yang saya namakan Pancasila -Sukarno, 17 Juni 1954 1 Jika kita runut kembali sejarah 'pembentukan' bangsa Indonesia, tak bisa kita luput dari sejarah 'kelahiran' Pancasila. Kata kelahiran sengaja kami beri tanda petik untuk meyakinkan kita bahwa Pancasila sebenarnya sudah ada, sudah hidup, dan sudah berurat akar di dalam diri bangsa Indonesia. Apa yang dilakukan Sukarno, sebagaimana kutipan di atas, adalah sekadar memformulasi atau merangkum perasaan-perasaan yang sudah menguratnadi di dalam jiwa bangsa Indonesia. Saudara-saudara, dalam hubungan inibuat kesekian kalinya-saya katakan, bahwa saya bukanlah pencipta Pancasila, saya bukanlah pembuat Pancasila, begitu tegasnya. Dan jika memang Pancasila sudah hidup dan berkembang jauh sebelum dirumuskan secara sistematis oleh Sukarno maka seharusnya Pancasila sudah mejelma menjadi nilai-nilai manusia Indonesia sebagaiman dicita-citakan perumus dasar negara tersebut. Harusnya manusia Indonesia memperlihatkan profilnya sebagai makhluk yang berketuhanan, makhluk berkemanusiaan, makhluk yang menjunjung persatuan, makhluk berkerakyatan, dan makhluk yang mencintai serta mewujudkan keadilan. Namun pada praktiknya, jauh panggang dari api. Manusia Indonesia sebagaimana tercermin dalam nilai dasar pancasila tersebut sangat sulit kita temukan, kalau tidak boleh kita katakan tidak ada. Hampir setiap hari kita disajikan berita pejabat Negara korupsi, berebut kursi kekuasaan, tidak pekak dengan penderitaan rakyatnya sendiri, dikrimantif, hingga masih percaya pada dukun dan klenik. Bahkan tidak sedikit yang menolak Pancasila. Mereka menolak Pancasila sebagai dasar Negara dan ideologi serta ingin cepat-cepat memasukkannya ke dalam peti sejarah, menguncinya rapat-rapat kemudian melupaknnya. PB NU harus memasukan tema khusus 1 Pof. Dr. Hamka Haq, Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam, Jakarta: RM Book, 2011, hal. 41
Ada tiga revolusi penting yang membentuk jalannya sejarah umat manusia (Harari, 2011: 3); revolus... more Ada tiga revolusi penting yang membentuk jalannya sejarah umat manusia (Harari, 2011: 3); revolusi kognitif sekitar 70.000 tahun lalu, kemudian dilanjutkan revolusi agrikultur sekitar 12.000 tahun yang lalu, dan terakhir revolusi saintifik yang baru mulai berjalan sekitar 500 tahun yang lalu. Begitu cerita sejarah kata Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Sapiens. Sejarah selanjutnya, kata Harari dalam bukunya Homo Deus, bahwa Homo sapiens kini tak lagi mengahadapi persoalan utama mereka; kelaparan. wabah, dan perang. Sekarang lebih banyak orang mati karena terlalu banyak makan dibanding orang mati karena kelaparan; sekarang lebih banyak orang yang mati karena lanjut usia ketimbang karena penyakit menular; dan sekarang lebih banyak orang yang melakukan bunuh diri dibanding jumlah gabungan orang yang dibunuh oleh tentara, teroris, dan penjahat (Harari, 2011: 2). Namun demikian, jika pun secara statistik klaim Harari itu benar adanya, bahwa angka-angaka kelaparan, wabah penyakit, dan perang, sudah bisa ditekan, faktanya manusia abad modern kini tetap menghadapi permaslahan yang sama. Permasalahan itu tidak nol sama sekali. Maslah kini tidak lagi angka statistic vertical, tapi lebih melebar ke samping. Misalnya, bagaimana menyelesaikan persoalan kesejahteraan di mana satu persen populasi menguasai sembilan puluh persen sumber daya, dan sebaliknya, Sembilan puluh persen populasi berdempetan dan berebut satu persen sumber daya. Belum lagi, kata Ken Wilber dalam bukunya A Theory of Everything (2012: 108) manusia kini mengahadapi permaslahan fundamental berskala besar, yakni semakin jauhnya manusia dari perkembangan integral. Manusia, di satu sisi telah menguasai teknologi hingga merancang kecerdasan buatan (artificial intellegent), namun tidak dibarengi kesadaran kosmos, bahwa manusia adalah bagian integral dari alam, maka di situlah manusia, kata Wilber menghadapi sejarah kepunahannnya. Karena itu permasalahan manusia antar sesamanya, atau lazim kita sebut permaslahan sosial harus terus menerus menjadi konsen perhatian semua intelektual. Permasalalahan sosial denga segala derivasi dan turunannya mesti menjadi fokus 1
Qui apeur de la philosophie? Siapa takut filsafat? --Jacques Derrida Ya, siapa takut filsafat? Pe... more Qui apeur de la philosophie? Siapa takut filsafat? --Jacques Derrida Ya, siapa takut filsafat? Pertanyaan Filsuf Perancis tersebut memang cukup menjadi alasan mengapa kita tak mesti takut mempelajari filsafat. Filsafat kata Derrida adalah hak semua orang, karena filsafat adalah puisi. Filsafat layaknya karya sastra mesti dipelajari bahkan oleh murid sekolah. Filsafat itu bertanya. Dan, kita selalu bertanya. Apapun yang ada di hadapan kita selalu kita pertanyakan. Namun kita, kata Franz Magnis-Suseno adalah makhluk yang tak pernah sampai. Mangapa? setidaknya, kata Franz ada dua kenyataan pada manusia yang tampaknya berlawanan dan membuatnya selalu ingin mengetahui lebih jauh. 1 Pertama, karena hanya dengan tahu manusia dapat bertindak. Ia bertindak karena segala macam alasan, diantaranya yang paling dasar adalah bahwa ia terdorong memenuhi kebutuhankebutuhannya, jadi apa yang dirasakan dibutuhkannya: ya makan dan minum dan lain-lain kebutuhan jasmani, tetapi juga kebutuhan akan manusia lainnya. Untuk itu ia harus tahu, misalanya tahu dari mana memperoleh makanan atau di mana ibunya. Kedua, yang khas bagi manusia adalah bahwa ia selalu mau tahu lebih jauh. Itu karena sifat manusia yang kedua: manusia berwawasan tak terbatas. Pengetahuan manusia selalu terbatas. Tetapi wawasannya tidak terbatas. Maka tak pernah ada pengetahuan yang dapat memenuhi cakrawala perhatiannya. Karena itu manusia bertanya terus. Gambaran cukup jelas tentang karakter manusia ini bisa kita lihat dari testimoni Al-Ghazali (1058-1111 M) yang fenomenal, Sejak muda hingga saat ini, ketika usiaku menjelang limapuluh tahun, kuarungi ombak lautan yang dalam ini, kutemukan berbagai rahasia aliran semua kelompok. Aku tidak meninggalkan kelompok batiniah kecuali telah kutelaah kebatiniahannya. Aku tidak meninggalkan kelompok zhahiri kecuali telah kukuasai kezhahiriahannya. Tidak kutinggalkan kelompok filosof kecuali setelah aku menguasai hakikat filsafatnya. Tidak kutinggalkan kelompok teologis, kecuali kau telah benar-benar mengkaji puncak teologis dan perdebatannya, tidak kutinggalkan kelompok sufi kecuali aku telah menelusuri kesufiannya, tidak juga kelompok zindik kecuali aku telah meneliti sebab-sebab di balik keberanian dan kezindikannya. Rasa penasaran untuk mengetahui hakikat semua persoalan di atasa selalu menghantuiku sejak aku masih muda. Tampaknya, hal itu merupakan instink dan fitrah dari Allah swt yang disimpan dalam benakku, bukan karena kemauan dan keinginanku. 2 1 Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, 2006, Jakarta, Penerbit Knaisius, hal. 17 Uraian Al-Gazali tersebut memberi gambaran bahwa manusia senantiasa bertanya. Karena memang manusia memiliki perangkat yang memadai: akal. Kata akal adalah translasi dari bahasa Arab aqala. Di lain kesempatan Al-Gazali memuji akal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertiana filsafat adalah; 1) pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya; 2) teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan; 3) ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemology; 4) falsafah. 3 Jadi filsafat adalah penyelidikan dengan akal budi. Dengan kemampuan logika kita. Dan karena itu salah satu definisi filsafat adalah usaha memahami dan mengerti dunia dalam hal makna dan nilai-nilainya. 4 Nicolaus Driyarkara mendeskripsikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang mengenai segala sesuatu dengan memandang sebab-sebab yang terdalam, tercapai dengan budi murni (philosophy is the science which by the natural light of reason studies the first causes or highest principles of all things). Selanjutnya Driyarkara menyimpulkan bahwa; Objek filsafat: segala sesuatu yang ada; Sudut pandangnya: sebab-sebab yang terdalam; Sifat-sifat filsafat: sifat-sifat ilmu; Jalannya filsafat dalam usaha mencari jawaban-jawaban: dengan berdasarkan kekuatan pikiran manusia, tak berdasarkan wahyu Tuhan atau pertolongan istimewa dari agama/Tuhan. 5
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS DJU... more PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS DJUANDA BOGOR 2016 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apa yang saya kerjakan tempo hari, ialah sekadar memformulir perasaan-perasaan yang ada di kalangan rakyat dengan beberapa kata-kata yang saya namakan Pancasila -Sukarno, 17 Juni 1954 1 Jika kita runut kembali sejarah 'pembentukan' bangsa Indonesia, tak bisa kita luput dari sejarah 'kelahiran' Pancasila. Kata kelahiran sengaja kami beri tanda petik untuk meyakinkan kita bahwa Pancasila sebenarnya sudah ada, sudah hidup, dan sudah berurat akar di dalam diri bangsa Indonesia. Apa yang dilakukan Sukarno, sebagaimana kutipan di atas, adalah sekadar memformulasi atau merangkum perasaan-perasaan yang sudah menguratnadi di dalam jiwa bangsa Indonesia. Saudara-saudara, dalam hubungan inibuat kesekian kalinya-saya katakan, bahwa saya bukanlah pencipta Pancasila, saya bukanlah pembuat Pancasila, begitu tegasnya. Dan jika memang Pancasila sudah hidup dan berkembang jauh sebelum dirumuskan secara sistematis oleh Sukarno maka seharusnya Pancasila sudah mejelma menjadi nilai-nilai manusia Indonesia sebagaiman dicita-citakan perumus dasar negara tersebut. Harusnya manusia Indonesia memperlihatkan profilnya sebagai makhluk yang berketuhanan, makhluk berkemanusiaan, makhluk yang menjunjung persatuan, makhluk berkerakyatan, dan makhluk yang mencintai serta mewujudkan keadilan. Namun pada praktiknya, jauh panggang dari api. Manusia Indonesia sebagaimana tercermin dalam nilai dasar pancasila tersebut sangat sulit kita temukan, kalau tidak boleh kita katakan tidak ada. Hampir setiap hari kita disajikan berita pejabat Negara korupsi, berebut kursi kekuasaan, tidak pekak dengan penderitaan rakyatnya sendiri, dikrimantif, hingga masih percaya pada dukun dan klenik. Bahkan tidak sedikit yang menolak Pancasila. Mereka menolak Pancasila sebagai dasar Negara dan ideologi serta ingin cepat-cepat memasukkannya ke dalam peti sejarah, menguncinya rapat-rapat kemudian melupaknnya. PB NU harus memasukan tema khusus 1 Pof. Dr. Hamka Haq, Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam, Jakarta: RM Book, 2011, hal. 41
Uploads
Papers by Abdul Khoer