International Relations

Bagi yang suka memperhatikan angka, 2015 tidaklah semenarik 2012. Bahkan, angka 2012 disebut angka keramat karena prediksi sebagian para futurolog (ahli ramal) adalah saat dimana Kiamat terjadi. Bahkan film dengan judul yang sama yaitu 2012 laris manis menjadi box office dunia.

Dalam situasi ketidakpastian seperti sekarang ini, rakyat Indonesia menunggu langkah nyata presiden SBY untuk segera menuntaskan permasalahan pelik yang menderita bangsa ini. Semakin miris kita apabila mendengar pernyataan ketua DPR Marjuki Ali beberapa hari yang lalu yang menyebutkan ada upaya untuk membubarkan Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK). Sebetulnya, pernyataan Marjuki ini tak ubahnya dengan beberapa kali ucapan yang pernah dikeluarkannya yang membuat telinga bangsa ini "memerah" kususnya tentang bencana Mentawai dan kasus pembangunan gedung DPR.

Sekretaris pada Pusat Penelitian Ilmu Sosial (PPIS) Universitas Brawijaya Malang, mahasiswa doktoral pada Institute of Social Studies (ISS) Den Haag, Belanda Salah satu isu hangat yang mengemuka di dalam pertemuan sejumlah petinggi terkemuka di Monrovia-ibu kota Liberia-Jumat 1 Februari 2013 adalah pembahasan mengenai bagaimana upaya keberlanjutan penanganan kemiskinan terutama pasca program Millenium Development Goals (MDGs) yang akan berakhir 2015. Indonesia yang diwakili Presiden SBY cukup antusias dengan mengedepankan partisipasi dari berbagai elemen dalam pembangunan yang menyeluruh (inclusive development). Posisi Presiden SBY sebagai salah satu co-chairman dari HIP High Level Panel on Post-2015 bersama Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf dan PM Inggris David Cameron mengedepankan pendekatan pada upaya penajaman MDGs yang ada sekarang seperti yang diwartakan oleh Kompas (Minggu, 3 Februari 2013).

Regional Meeting and Stakeholder Consultation on the Post-2015 Development agenda yang berakhir Jumat 14 Desember 2012 di Nusa Dua Bali menyisakan pekerjaan rumah yang tidak ringan untuk Indonesia dan bahkan untuk negara-negara berkembang yang masih mempunyai masalah dalam pembangunan. Presiden SBY yang didaulat menjadi Ketua Bersama High Level Panel on post 2015 beserta Presiden Liberia dan PM Inggris mengusulkan ide tentang 'inclusive development' yang berarti bahwa penanganan masalah pembangunan-dan khususnya kemiskinan-harus melibatkan multisektor baik institusi maupun agenda pembangunan. Tulisan ini sengaja mengangkat analisa kritis tentang apa dan bagaimana realitas implementasi dari program pembangunan nasional khususnya strategi pengentasan kemiskinan.

Dosen FISIP Universitas Brawijaya Malang, sedang menempuh program Doktor di Institute of Social Studies (ISS) Den Haag, Belanda "…patrimonial oligarchy where a powerful business class extracts privilege from largely incoherent bureaucracy and those system of administrative patrimonialism where power is located in the hands of class of office-holders who are the main beneficiaries of rent extraction from disorganized business class" (Hutchcroft: 1998:52) Tesis yang pernah dibuat oleh Hutchroft diatas sejatinya dimaksudkan untuk membedakan apa yang terjadi di Indonesia dan apa yang berlaku di Philippina. Kedua negara ini menjadi objek penelitian beliau tentang bagaimana hubungan kekuasaan antara aktor ekonomi dan birokrasi di tingkat pemerintahan. Namun, revisi ada baiknya ditambahkan pada tesis tersebut khususnya melihat kasus Papua dan keterlibatan institusi negara (POLRI) dan keterkaitannya dengan penerimaan sejumlah dana yang berasal dari PT Freeport sebagai penambang monopoli di kawasan paling timur Indonesia itu.

Pidato Presiden SBY tentang hasil KTT ASEAN yang telah berlangsug di Bali menarik untuk ditelaah lebih dalam. Dalam pidatonya, beliau mengajak sesama anggota ASEAN dan negara-negara Asia Timur untuk mengembangkan ekonomi regional sebagai basis penggerak ekonomi global. Juga, pidato tersebut menyinggung minimal tiga aspek yaitu pelambatan pertumbuhan ekonomi, tidak stabilnya pasar uang internasional dan besarnya kesenjangan ekonomi antara negara maju dengan berkembang adalah faktor penyebab kemunduran ekonomi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pembangunan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Untuk membangun Indonesia tentunya butuh dana milliaran rupiah yang akan dirupakan dalam bermacam variasi pembangunan. Yang menjadi permasalahan pelik akhir-akhir ini adalah minimnya dana pembangunan khususnya pembangunan infrastruktur di daerah. Dari total dana yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur, pemerintah hanya dapat menyediakan sepertiganya atau sekitar 400 trilliun dari total kurang lebih 1300 trilliun dana pembangunan yang dibutuhkan sampai dengan tahun anggaran 2014. Salah satu favorit pemerintah untuk menyokong pembangunan adalah dengan mengandalkan hutang luar negeri yang sebagian besar disalurkan melalui lembaga donor internasional seperti Bank Dunia. Karena sifatnya adalah hutang/pinjaman, tentu saja pemerintah Indonesia harus mengembalikan pokok hutang beserta dengan bunga pinjaman. Baru-baru ini, Bank Dunia memberikan pinjaman pada proyek PLTA Upper Cisokan Pumped Storage sejumlah US $640 Milliar di dekat Bandung Jawa Barat dan diprediksikan rampung pada tahun 2016. Proyek PLTA ini diprediksikan akan membantu pasokan listrik Jawa Bali sebesar 1000 MW listrik pada beban puncak. Tentunya, dengan bantuan pinjaman dari Bank Dunia, maka total hutang luar negeri Indonesia akan semakin naik. Posisi sekarang, Indonesia mempunyai hutang luar negeri sebesar Rp 1.900 Trilliun, sebuah angka yang fantastis. Jangan dibayangkan untuk menghitung jumlah nominal uang, tetapi bayangkan juga bagaimana Indonesia akan melunasi hutang dan sampai kapan kita akan terus berhutang pada lembaga donor Internasional.

Sekretaris pada Pusat Penelitian Ilmu Sosial (PPIS) Universitas Brawijaya Malang, mahasiswa doktoral pada Institute of Social Studies (ISS) Den Haag, Belanda Salah satu isu hangat yang mengemuka di dalam pertemuan sejumlah petinggi terkemuka di Monrovia-ibu kota Liberia-Jumat 1 Februari 2013 adalah pembahasan mengenai bagaimana upaya keberlanjutan penanganan kemiskinan terutama pasca program Millenium Development Goals (MDGs) yang akan berakhir 2015. Indonesia yang diwakili Presiden SBY cukup antusias dengan mengedepankan partisipasi dari berbagai elemen dalam pembangunan yang menyeluruh (inclusive development). Posisi Presiden SBY sebagai salah satu co-chairman dari HIP High Level Panel on Post-2015 bersama Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf dan PM Inggris David Cameron mengedepankan pendekatan pada upaya penajaman MDGs yang ada sekarang seperti yang diwartakan oleh Kompas (Minggu, 3 Februari 2013).

The success of European countries to form a common organization present the success of functionalism theory. Other regions in the world are pursuing to form as same as European organization. However, things to be considered are the emerge of European Union are formed through three fundamental elements. The intensity of interaction among member countries of European Union; role mode of dominant states in European Union and the common external threat when the organization formed are identified as determinant factors that forms European Union (EU). Furthermore, the strength of European integration also completed from complexity of problem whereas common action is needed to face it. In the context of duplication, ASEAN is hoped to growth to be regional organization that replicates of UE. However, it is not the simple. This paper will generally analyze the rise of UE and its strength and at the same time shortly compare to ASEAN and its different culture to European. Finally, at the end of this paper, it result with the probability of duplicating UE style to ASEAN.

Adequate sanitation is vital to human health, yet progress on the Millennium Development Goal for sanitation has been slow and the target is likely to be missed by one billion people. Indonesia has the third highest number of people of any country in the world without access to sanitation and, like most developing countries, it is devoting insufficient resources to the issue. In rural areas, rather than providing additional funding, the governmentwith support of the World Bank -has promoted the Community-Led Total Sanitation (CLTS) approach, which uses social mobilization to encourage people to construct their own latrines. In Indonesia as elsewhere, CLTS involves more than just education and encouragement; it uses social shaming and punishments. The authors argue that this is not only an inadequate approach but one which echoes coercive, race-based colonial public health practices. This article thus integrates extant historiography on Indonesian colonial medicine with contemporary scholarly literature and field research on CLTS using case studies of a 1920s hookworm-eradication programme funded by the Rockefeller Foundation, and the current World Bank Water and Sanitation Programme, both in Java.

Indonesia has adopted community-driven development as a major strategy for poverty reduction, and replicated the approach nationwide through a number of programs. Over the past few years, the country has formulated a road map for sustaining the systems, procedures, and benefits of community-driven development. Through case studies, the study examines the ongoing transition from the government’s long-standing National Community Empowerment Program to mainstreaming through the government’s regular planning and budget allocation system through the Village Law, which was enacted in early 2014. The study summarizes important lessons learned and policy implications from the first year of Village Law implementation.

Adequate sanitation is vital to human health, yet progress on the Millennium Development Goal for sanitation has been slow and the target is likely to be missed by one billion people. Indonesia has the third highest number of people of any country in the world without access to sanitation and, like most developing countries, it is devoting insufficient resources to the issue. In rural areas, rather than focusing additional funding, the Government with support of the World Bank, has promoted the Community-Led Total Sanitation (CLTS) approach, which uses social mobilisation to encourage people to construct their own latrines. In Indonesia as elsewhere, CLTS involves more than just education and encouragement, it uses social shaming and punishments. We argue that this is not only an inadequate approach but one which echoes coercive, race-based colonial public health practices. Thus our paper integrates extant historiography on Indonesian colonial medicine with contemporary scholarly literature and field research on CLTS using case studies of a 1920s Rockefeller Foundation funded hookworm eradication program and the World Bank's Water and Sanitation Program, both in Java.

Umumnya, kelompok elite diidentikkan dengan penguasaan sumber-sumber kekuasaan yang biasanya berupa materi (tanah, rumah, ternak) dan pekerjaan di instansi formal. Definisi seperti ini sudah jamak ditemukan di lingkup perdesaan di Jawa. Namun, dari pengalaman Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Perdesaan khususnya oleh kader program, artikel ini berargumen bahwa ada alternatif sumber kuasa yang lain selain materi dan posisi di pemerintahan yang kemudian menjadikan seorang yang biasa menjadi anggota kelompok elite. Sumber non-material ini adalah loyalitas, dedikasi dan kepercayaan. Diilhami oleh pendekatan Power Cube, artikel ini menunjukkan bahwa dalam proses PNPM terdapat transformasi kuasa dari individu biasa menjadi elite. Artikel ini berdasar pada metode studi kasus di dua desa di Kabupaten Malang, Jawa Timur yang mendapatkan program PNPM.

The Indonesian Government releases the Law 6/2014 on Village. Since then, there are lively discussions about its implementation. In its 7th years of implementation, this paper intends to analyse on how and to what extent the implementation of the Village Law has determined village development in Indonesia. This paper is based on case study approach, which is conducted in seven selected villages in East Java Province. Data is collected by series of interviews with village heads, member of village council, women and youth representatives. This paper presents that there are three main popular sectors of village development in Indonesia namely institutional reform, local economic development and applied technology. On this, the paper argues that applied technology is less problematic than the other two. Institutional reform and local economic development are two sector that many problems (social and political) are identified. This relates to existing social-political structures of tradi...

The recent decentralisation in Indonesia was expected to play a significant role in the development program aimed at addressing local issues, including water and sanitation. However, the lack of capacity of local governments could be a barrier to deliver adequate services. This study looks at policy implementation and how the community in the poorer regions of Eastern Indonesia are attempting to address water and sanitation issues. Specifically, this study aims to assess the implementation of Community-Led Total Sanitation (CLTS) type programs. Based on surveys, in-depth interviews and using qualitative methods this study identifies the main actors and their contribution in the programs. The result shows that despite the required active involvement of Non-Government Organisations (NGOs) and the local community, local governments still hold a very important role in service delivery, especially their frontline staff, who provide routine communication with the community. The active inv...