Journal Articles by Mohamad Shohibuddin

Jurnal Pembaruan Desa dan Agraria, 2004
Paper ini secara eksploratif menguraikan konsepsi dasar reforma agraria dan dua orientasi domina... more Paper ini secara eksploratif menguraikan konsepsi dasar reforma agraria dan dua orientasi dominan dalam implementasinya, yaitu orientasi produksi dan orientasi transformasi struktural. Dengan mengacu pada pengalaman berbagai negara, paper ini menegaskan jastifikasi bagi reforma agraria yang komprehensif, yang sekaligus mengkombinasikan faktor-faktor teknis untuk meningkatkan produksi dengan faktor perbaikan kerangka kerja kelembagaan dan struktur sosio-agraria.
Berdasarkan uraian eksploratif tersebut, paper ini selanjutnya membedah kondisi agraria di Indonesia dewasa ini yang ditandai oleh ketimpangan dalam penguasaan struktur agraria, maraknya sengketa dan konflik agraria dengan tingkat keluasan dan kedalaman yang terus meningkat, dan kian dominannya politik agraria yang bias kepentingan pemodal. Pada saat yang sama, kondisi agraria semacam itu juga telah melumpuhkan basis-basis politik dan kekuatan produktif rakyat.
Problem struktural ini pada akhirnya telah menciptakan sistem perekonomian nasional yang keropos karena tidak ditopang oleh infrastruktur ekonomi yang kuat dan mandiri serta berpijak pada kekuatan-kekuatan produktif rakyat yang sejati. Oleh karena itu, paper ini menegaskan pentingnya revitalisasi perekonomian nasional melalui pembangunan pertanian dan pedesaan, yang dibingkai dalam suatu kebijakan reforma agraria. Pada bagian akhir paper ini disertakan beberapa agenda strategis bagi pelaksanaan reforma agraria dan program-programnya.

Prosiding Konferensi Nasional Sosiologi, 2023
Tulisan ini mengkaji pelaksanaan devolusi sumber daya alam sebagai sebuah proses yang tidak netra... more Tulisan ini mengkaji pelaksanaan devolusi sumber daya alam sebagai sebuah proses yang tidak netral, sebaliknya sangat dikontestasikan dan bersifat politis. Penetapan skema tertentu dalam kebijakan Perhutanan Sosial secara jelas menggambarkan kontestasi semacam ini. Hal ini diperlihatkan melalui penetapan skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) pada sebuah komunitas adat di pinggir hutan Egon Ilinmedo di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Mengadopsi perspektif Sosiologi Pengetahuan, tulisan ini berargumen bahwa penetapan skema HKm ini adalah fenomena kebijakan yang bersifat “tutup mata” (policy blindness), dalam pengertian ia mengabaikan dan, dengan begitu, mengingkari identitas sosial-budaya, sistem pengelolaan sumber daya alam, dan aspirasi komunitas adat bersangkutan. Hasil penelitian menemukan bahwa fenomena semacam ini mempunyai akar yang mendalam pada bias persepsi elite dan distorsi realitas oleh elite yang terjadi karena kombinasi beberapa faktor sebagai berikut: sejarah panjang kontestasi etnis di Kabupaten Sikka, pandangan dan perlakuan Gereja Katolik terhadap komunitas tradisional dan sistem sosial-ekologisnya, dan pandangan elite nasional yang cenderung alergi atau sebaliknya romantis terhadap keberadaan masyarakat hukum adat. Tulisan ini didasarkan pada hasil penelitian kualitatif yang dilakukan melalui studi literatur dan studi lapang selama Desember 2022-Maret 2023. Data lapangan dihimpun melalui metode observasi, wawancara mendalam dengan informan kunci, dan diskusi kelompok terfokus.
Kata kunci: Identitas komunitas adat; Kebijakan “tutup mata”; Perhutanan Sosial; Sosiologi pengetahuan

Hall of Thought: Jurnal Agama dan Peradaban, 1999
Dalam pandangan tradisional, teks (dan dengan demikian juga bahasa) dianggap mewakili atau menunj... more Dalam pandangan tradisional, teks (dan dengan demikian juga bahasa) dianggap mewakili atau menunjuk pada hal atau benda dalam kenyataan secara langsung. Selama kita bisa mengorganisasikan gagasan-gagasan secara logis dan jelas, maka kita langsung mendapatkan "representasi" yang benar atau keserupaan "objektif" dari kenyataan. Tulisan ini mendiskusikan kritik-kritik terhadap pandangan "Logosentrisme" semacam ini dari para pemikir strukturalis dan post-strukturalis seperti Ferdinand de Saussure, Jacques Derrida dan Michel Foucault, namun yang kemudian berujung kepada nihilisme. Tulisan ini kemudian diakhiri dengan diskusi atas kontribusi Mohammed Arkoun yang berusaha melampaui nihilisme pemikiran post-strukturalis dan menegaskan kemungkinan penerimaan atas "petanda transendental" tanpa harus kehilangan kritisisme atas belenggu teks. Hal ini dilakukan melalui apa yang disebut Arkoun sebagai "analisis mitis di dalam pembacaan teks", termasuk teks keagamaan.

Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 2022
Kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim dapat memicu abrasi yang berdampak negatif pad... more Kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim dapat memicu abrasi yang berdampak negatif pada kerentanan rumah tangga nelayan. Penelitian ini mengkaji tingkat kerentanan di antara rumah tangga nelayan dengan struktur nafkah berlainan dan hubungannya dengan strategi adaptasi yang diterapkan dalam menghadapi dampak abrasi. Kemampuan rumah tangga nelayan menerapkan berbagai strategi adaptasi diduga membuat mereka lebih mampu bertahan dalam menghadapi perubahan lingkungan. Untuk mengkaji hal ini, penelitian lapangan dilakukan pada satu komunitas pesisir di Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat. Data dikumpulkan melalui survei atas 34 responden dari rumah tangga terdampak abrasi yang dipilih dengan teknik proportional stratified random sampling dan diperkuat dengan observasi lapangan dan wawancara mendalam dengan sejumlah informan. Untuk melihat hubungan antarvariabel, secara statistik dilakukan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan hubungan signifikan antara tingkat kerentanan dan keragaman strategi adaptasi dengan arah hubungan negatif sebesar-0,508. Selanjutnya, terdapat hubungan signifikan antara struktur nafkah dan tingkat kerentanan dengan arah hubungan negatif sebesar-0,626 serta antara struktur nafkah dan tingkat keragaman strategi adaptasi dengan arah hubungan positif sebesar 0,682. Hal ini berarti makin tinggi tingkat kerentanan maka makin rendah tingkat keragaman strategi adaptasi, lantas makin beragam struktur nafkah maka makin rendah tingkat kerentanan dan makin tinggi tingkat keragaman strategi adaptasi. Berdasarkan temuan ini, disarankan agar pemerintah melakukan upaya pencegahan abrasi yang akan menimbulkan kerentanan pada rumah tangga nelayan. Selain itu, pemerintah perlu mendorong diversifikasi mata pencaharian di antara rumah tangga nelayan dan dalam kaitan ini perlu membenahi tata ruang kawasan wisata bahari dan pengelolaannya secara inklusif agar manfaat ekonominya dapat dirasakan oleh masyarakat secara lebih merata..

Politika: Jurnal Ilmu Politik, 2022
Penelantaran tanah HGU oleh PT Hevindo di tengah konteks ketimpangan agraria dan kemiskinan yang ... more Penelantaran tanah HGU oleh PT Hevindo di tengah konteks ketimpangan agraria dan kemiskinan yang dialami masyarakat tiga desa di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor telah memicu perjuangan agraria kelompok petani AMANAT dengan dukungan sejumlah LSM dan aktor politik. Arus gerakan dari bawah untuk meredistribusikan tanah HGU terlantar ini telah melahirkan respons dari atas oleh para aktor pemerintah dari level desa hingga nasional. Artikel ini mengkaji zona interaksi politik di antara dua arus ini dan pengaruhnya terhadap tindakan para aktor pemerintah terkait desakan pelaksanaan reforma agraria. Penelitian lapang dilaksanakan selama Juli-Desember 2020 melalui kombinasi metode kuantitatif dan kualitatif. Pengaruh antar variabel diuji secara statistik menggunakan SPSS 16.0 dan SmartPLS 3.0. Hasil penelitian memperlihatkan pengaruh positif dan signifikan dari proses interaksi ini terhadap respons para aktor pemerintah. Hal ini ditunjukkan oleh perubahan sikap mereka dari semula menentang lantas berbalik mendukung perjuangan petani ini. Pada 2019 sosialisasi mengenai rencana pelaksanaan reforma agraria telah dilakukan Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor, sementara hasil pemetaan partisipatif atas penguasaan tanah oleh petani penggarap di lokasi HGU telah diusulkan oleh AMANAT sebagai acuan penetapan tanah objek reforma agraria dan calon penerima manfaatnya. Namun, hambatan administratif akibat praktik tata pengurusan dan administrasi pertanahan yang buruk dan manipulatif di masa lalu membuat program reforma agraria belum kunjung dilaksanakan hingga saat penelitian lapangan berakhir.

Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan, 2021
Women are one of the parties being affected by the process of land acquisition for the constructi... more Women are one of the parties being affected by the process of land acquisition for the construction of public infrastructure. This article aims to analyse the change of women role after the implementation of land acquisition for the construction of Yogyakarta International Airport in Kulonprogo regency, Special Region of Yogyakarta. The research is carried out in Kebonrejo village, Temon district using quantitative approach supported by qualitative approach. Quantitative data are collected through a survey among 30 female respondents in the households selected by a simple random sampling and analysed through Rank Spearman test, while qualitative data are obtainded through documents review, participant observation and depth interview with key informants. The research findings demonstrate that there is a weak relationship between the participation of women throughout the implementation of land acquisition and the change of women role after the completion of land acquisition. This is due to the fact that despite there is a strong emphasize of public consultation and participation in the regulation of land acquisition, the will and power of the government is very strong and could not be influenced by the whole affected community. In addition, the process of land acquisition itself often put aside women's specific aspiration and intereset. Consequently, a relative equal gender relation within the household during land acquisition process didn't have any effect throughout the process and afterward.

Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 2021
Pada 3 Juni 2020 salah satu ilmuwan sosial Indonesia yang terkemuka, Prof. Dr. Sediono Mommy Poer... more Pada 3 Juni 2020 salah satu ilmuwan sosial Indonesia yang terkemuka, Prof. Dr. Sediono Mommy Poerwodo Tjondronegoro, wafat dalam usia 92 tahun. Kepergian beliau menimbulkan rasa kehilangan yang sangat mendalam pada banyak pihak, khususnya kalangan ilmuwan sosial, dan lebih khusus lagi mereka yang menekuni isu-isu pedesaan, agraria dan ekologi manusia. Beliau dikenal luas berkat konsep “sodality” yang beliau konstruksikan ulang berdasarkan realitas sosial di pedesaan Indonesia untuk merujuk basis otonomi, kerja sama dan partisipasi komunitas pedesaan yang genuine dari bawah. Berdasarkan temuan studi beliau di dua desa di Jawa, perwujudan sodality dalam pengertian demikian ternyata ditemukan pada tingkat dukuh, yakni unit teritori yang berada di bawah desa di mana hubungan informal dan ikatan solidaritas masih berlangsung dengan cukup kuat di antara sesama warga. Selain itu, Prof. Tjondronegoro juga dikenal sebagai sosok intelektual yang memiliki kepedulian besar pada bidang agraria dan ekologi manusia. Oleh karena itu, konsep sodality dalam pengertian seperti beliau maksudkan sebenarnya juga dapat dimaknai secara lebih luas dan tidak terbatas pada unit teritori semata. Misalnya saja, dengan mengidentifikasi perwujudan sodality pada berbagai basis ikatan solidaritas sosial yang ditentukan bukan terutama oleh ikatan ketetanggaan dan teritori seperti di Jawa, melainkan oleh unit ekologis tertentu beserta sistem produksi yang dikembangkan di atasnya. Dalam edisi khusus Jurnal Sodality ini, yang diterbitkan dalam rangka mengenang dan mengapresiasi warisan pemikiran dan jasa almarhum, terdapat enam artikel yang dengan penekanan berbeda-beda berusaha menelaah dan mengontekstualisasikan pemikiran Prof. Tjondronegoro pada realitas sosial di Indonesia dewasa ini.

Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan, 2021
The success of land reform depends, among others, on complete and accurate data on land tenure. S... more The success of land reform depends, among others, on complete and accurate data on land tenure. Such data are still lacking since land registration has not been completed yet, while the completed ones are difficult to access. Actually, agriculture census data contain some information concerning farm landholding, although the last concept refers to "effective landholding" rather than "formal landholding" (legal ownership) as frequently used in land reform program. Using literary study, this article aims to analyse the 2013 Agricultural Census with special focus on Blitar in East Java and Luwu Utara in South Sulawesi to represents two types of ecosystems in Geertz's conception, namely "Inner Indonesia" and "Outer Indonesia" respectively. The analysis resulted in detailed descriptions on the distribution of farm households, farmland use, and inequality of landholding which can be traced until the village level. For preparing land reform, it is important to combine this information with existed data on land ownership and to use it as a basis for further field-based inventories on farmland holding, ownership, use and utilization. This article concludes that the benefit of agricultural census data should be optimized. Some policy recommendations are also provided, emphasizing the urgency for more contextual way to implement land reform.

Journal of Socioeconomics and Development, 2021
National parks can be sensitive state-property areas since the surrounding communities generally ... more National parks can be sensitive state-property areas since the surrounding communities generally need the parks' resources for their livelihood. This paper focuses on inequality and transaction costs in PAMSIMAS (Community-Based Water Supply and Sanitation), a water sector program in Indonesia’s rural and peri-urban areas. The method used is a case study of PAMSIMAS in Tajuk, a village adjacent to Mount Merbabu National Park in Semarang Regency, Central Java. The data were gathered from documentary studies, in-depth interviews, and observations, and were analyzed using transaction cost economics and institutional analysis. This study found that the rules of PAMSIMAS, especially water pricing mechanisms, enhanced water availability but could not diminish the uncertainty of water access and transaction costs born by water users. Inequalities of endowment, power, and information among the hamlets affected how PAMSIMAS was run. Mobilization of water resources is related to property rights, which should be well-defined. Still, there was an overlapping property institution of Mount Merbabu National Park forest and its water resources; thus, the water user groups had to bear different transaction costs. The study provides suggestions for providing broader 'rules of the game' in rural water management, recognizing local conditions and prospects, acknowledging community rights to resources, and developing inclusive community participation.

ISLAM NUSANTARA: Journal for Study of Islamic History and Culture, 2020
This article focuses on a specific topic rarely discussed in the scholarship of Islam Nusantara, ... more This article focuses on a specific topic rarely discussed in the scholarship of Islam Nusantara, namely the contribution of Islam Nusantara in addressing agrarian problems experienced by the community. To reveal such contribution, the author proposes the perspective of “access and exclusion” as a theoretical framework for understanding the nature of social struggle in the agrarian field. Based on this, the author will disclose the contribution of Islam Nusantara in “pursuing access” and at the same token “preventing exclusion” within various situations of agrarian struggle, starting from the family level (as concerned with inheritance system and joint marital property) to a broader level of socio-agrarian relations (as related to inequalities in land tenure, relations of production and spatial allocation). In addition, the author will examine “agrarian ijtihad” issued by Nahdlatul Ulama and also proposes the idea of “agrarian waqf”—both constitute religious responses to “challenges of access” and “threats of exclusion” taking place within the community.

Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan, 2019
This article, which consisted of two parts, offers two contribution to the literature on agrarian... more This article, which consisted of two parts, offers two contribution to the literature on agrarian inequality in Indonesia, i.e. a conceptual approach for understanding this phenomenon and what it implies on policy formulation. The f irst contribution has been elaborated in Part 1 which includes a synthesis of various aspects of agrarian inequality and a distinction between two types of agrarian inequality, namely: inequality of distribution and of allocation. In Part 2, the second contribution of this article will be elaborated. Firstly, the current situation of agrarian inequality in Indonesia, which covers those two types of inequality, will be presented. Secondly, a comprehensive policy framework to resolve this problem will be promoted, based on the principle of positive discrimination towards smallholders' interests. For this purpose, f ive schemes of tenure reform need to be fully integrated, namely: (re)distribution, registration, recognition, devolution and restitution.
Intisari: Artikel ini, yang terdiri atas dua bagian, menawarkan dua kontribusi pada literatur mengenai ketimpangan agraria di Indonesia, yaitu pendekatan konseptual untuk bisa memahami gejala ini dan apa implikasinya terhadap penyusunan kebijakan. Kontribusi pertama telah dibahas pada Bagian 1 yang mencakup sintesis atas ragam aspek ketimpangan agraria dan pembedaan antara dua jenis ketimpangan agraria, yakni ketimpangan distribusi dan ketimpangan alokasi. Pada Bagian 2, kontribusi kedua dari artikel ini akan diulas secara mendalam. Pertama-tama, situasi ketimpangan agraria terkini di Indonesia, yang mencakup dua jenis ketimpangan di atas, akan dipaparkan. Selanjutnya, sebuah kerangka kebijakan yang komprehensif untuk memecahkan masalah ini akan dipromosikan dengan berdasarkan pada prinsip diskriminasi positif bagi kepentingan para produsen skala kecil. Dalam rangka ini, lima skema pembaruan tenurial berikut penting untuk diintegrasikan secara menyeluruh, yaitu: (re)distribusi, registrasi, rekognisi, devolusi, dan restitusi. Kata Kunci: ketimpangan distribusi, ketimpangan alokasi, diskriminasi positif, pembaruan tenurial yang komprehensif, Indonesia BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan

Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan, 2019
This article offers two contributions to literature on agrarian inequality in Indonesia, namely a... more This article offers two contributions to literature on agrarian inequality in Indonesia, namely a conceptual approach for understanding this phenomenon and its implication on policy formulation. The first contribution includes a synthesis of some literature on various aspects of agrarian inequality. In addition, two types of agrarian inequality are distinguished according to its locus of existence, i.e. inequality of distribution which refers to unequal land tenure among different classes within smallholding agricultural sector, and inequality of allocation which refers to unequal allocation of land and other natural resources between small (family) farms and large (corporate) enterprises. The second contribution is formulation of a policy framework to resolve these two types of agrarian inequality. First of all, the politics of agrarian resources allocation should be based on the principle of positive discrimination which favors smallholders’ interests. Furthermore, to ensure this principle comes into reality, f ive schemes of tenure reform have to be fully integrated, namely: (re)distribution, registration, recognition, devolution and restitution.
This article divided into two parts. Part 1 will focus on the first contribution (conceptual approach); meanwhile, the second contribution (policy formulation) will be further elaborated in Part 2.
Keywords: agrarian inequality, land reform, politics of agrarian resources allocation, Indonesia.

The Journal of Peasant Studies , 2017
What capacity do smallholders have to influence key decisions in large-scale land deals to their ... more What capacity do smallholders have to influence key decisions in large-scale land deals to their own advantage, in particular in their own localities? Though the cards are stacked against them, micro processes on the ground show great variations. We put the magnifying glass on local power dynamics to explore both opportunities and constraints to the bargaining power of smallholders as they resist land deals or struggle for (better terms of) inclusion. We propose a relational perspective, in the sense that we focus on the social relations through which smallholders may ‘produce’ power, access power resources and profit from leverage vis-à-vis investors – constrained by wider power configurations. Drawing on our research in Indonesia and the Philippines augmented with other case studies on Southeast Asia, we highlight (1) relations of interdependency with investors; (2) ‘horizontal’ relations of shared interests and identity; (3) tactical relations with state officials; (4) relations with specialists in violence; and (5) relations with supra-local civil society groups. Explorative in nature, this contribution suggests an analytical lens to study sources of smallholder bargaining power and vulnerability in large-scale land deals.

Wacana Jurnal Transformasi Sosial, 2017
This article examines critically the Law Number 6 of 2014 concerning Village with the perspective... more This article examines critically the Law Number 6 of 2014 concerning Village with the perspective of access and exclusion dymanics. Focused on the natural resource questions, this paper demonstrates that Village Law has normatively provide a broader political opportunity for the villagers to access local natural resources, yet the law itself contains some threats of exclusion. The legislation of the law is oriented to rehabilitate the autonomy of the village from the long trajectory of state corporatism, but without takes into account (and hence, failed to address) the marginatization of village caused by agrarian and ecological crises as the consequence of capitalist expansion. To go beyond this legal limitation, this paper explores five empirical cases to demonstrate various forms of agrarian and ecological crises and different responses by villagers to address them. Accordingly, six themes of learning are formulated to propose a new direction for the village reform movement. The exploration also leads to a conclusion that in order to confront capitalist expansion both strategies of “struggle for access” and “struggle against exclusion” should be simultaneously exercised in the future of village reform movement.

Masyarakat: Jurnal Sosiologi, 2016
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa)-terlepas dari terobosan politiknya dalam ... more Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa)-terlepas dari terobosan politiknya dalam menggulirkan demokratisasi relasi negara-desa-memiliki keterbatasan mendasar terkait isu sumber daya alam di desa mengingat krisis agraria dan krisis ekologi yang terjadi di pedesaan. Selain tidak banyak mengelaborasi aspek-aspek penting dari isu sumber daya alam, UU Desa juga hanya memberikan kewenangan yang minim terhadap swakelola sumber daya alam desa oleh pemerintah desa serta tidak menyentuh ketimpangan akses warga desa terhadap sumber daya alam setempat. Dihadapkan pada tantangan struktural demikian, perjuangan "otonomi desa" akan sulit mendorong transformasi sosial yang berarti tanpa melibatkan upaya penataan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan. Pada saat yang sama, perjuangan "keadilan sosial-ekologis" akan sulit tampil sebagai agenda kolektif desa tanpa mengupayakan demokratisasi yang lebih dalam di internal desa sendiri. Tulisan ini menawarkan kerangka perjuangan "demokratisasi tata kelola sumber daya alam desa" sebagai konvergensi strategis dari dua perjuangan sebelumnya: "otonomi desa" dan "keadilan sosial-ekologis". Hal ini diupayakan melalui tiga agenda konkret yang saling terkait: penguatan kewenangan desa atas sumber daya alam setempat, demokratisasi relasi-relasi sosio-agraria di desa, dan pembalikan krisis pedesaan untuk merevitalisasi basis-basis produksi desa.
Law Number 6 of 2014 on Village-apart from its political contribution in democratizing state-village relation-has a fundamental limitation on natural resource issues in the village in the light of agrarian and ecological crises. This Law offers a minor elaboration on natural resource issues and provides limited authority to the village on this field, while no reference is made to the problem of inequality in community's access to local natural resources. Confronted with such structural challenges, it is argued that "struggle for village autonomy" will hardly lead to significant social transformation without involving attempts to establish just and sustainable natural resource regime. At the same time, "the struggle for social-ecological justice" will never emerge as village's collective agenda without attempts to deepen democracy within the village. Accordingly, this article offers "democratization of rural natural resource governance" as a strategic convergence between two previous struggles: "village autonomy" and "social-ecological justice". It is pursued through three inter-related agenda: strengthening village's authority concerning natural resource issues, democratizing socio-agrarian relations in the village, and addressing rural crises in order to revitalize productive forces in the village.
Keywords: village; rural natural resources; agrarian perspective; democratic governance

Mendiskusikan hak komunal perlu keluar dari asumsi bahwa ia hanya tersedia dalam sistem ulayat, s... more Mendiskusikan hak komunal perlu keluar dari asumsi bahwa ia hanya tersedia dalam sistem ulayat, serta ada dalam 'kawasan tertentu' berupa hutan dan perkebunan. Fakta beragamnya sistem pengelolaan tanah di Indonesia memerlukan terobosan hukum yang dapat mengakomodir keberlangsungan hak komunal baik dalam pengertian hak milik maupun
hak garap. Sertipikasi tanah yang mengunci hanya pada subyek hukum individu, badan hukum, dan desa, akan tidak tepat jika dipraktekkan pada konteks keberagaman tersebut. Oleh karena itu terhadap keberadaan
kepemilikan komunal di masyarakat penting dilakukan: (1) terobosan hukum yang mengakui tanah komunal dan menjangkau lebih luas di luar kerangka tanah ulayat, (2) memperluas kategori sumber daya bersama lainnya dalam arti milik umum (commons) dan bukan hanya tanah, serta dalam pengertian milik bersama (common property), (3) memperluas subyek hak bukan sekedar komunitas adat, namun juga desa, badan usaha petani, dan lain-lain.

This chapter aims to understand the complex process of investment and land deal making through th... more This chapter aims to understand the complex process of investment and land deal making through the in-depth study of three cases of sugar cane investment in the Philippines and Indonesia. It focuses on three different trajectories of sugar cane schemes—one in northern Luzon, the Philippines, and two in Aceh, Indonesia. By means of a processual approach, the chapter identifies critical junctures—defined as crucial moments of dealmaking and interactions in which relations among actors are renegotiated—at which the investments took decisive turns. These are the collaboration of investors and bureaucratic cooperation between different levels of government; control of the development agenda; land deal making and control over land; control of labour; and curbing resistance. The chapter thus shows that investments in
sugar cane and bioethanol—which often involve land deals—usually turn out differently than originally envisaged. Implementation problems arise due to the competing
strategies and interests of investors, government departments, workers, landowners, and brokers, and due to specific historical and institutional constellations. Therefore, it can be argued that the implementation of investment schemes cannot simply be
understood as the implementation of a contract or an already-planned programme; it should rather be understood as a constant process of negotiation and adaptation. In such a context, the identification of critical junctures is crucial for the conduct of monitoring activities and the adoption of adaptive policies during land deal processes.

The long debate on whether rural community in Java is better characterised as egalitarian or diff... more The long debate on whether rural community in Java is better characterised as egalitarian or differentiated one has underrated the agency of the local people. This paper tries to bring into the front the agency of local people through a comparative account of the history of two communities, namely Ngandagan in Central Java and Wangunwati in West Java. Mobilizing collective action around land struggle, both communities engaged in a broad spectrum of property relations reform which ranged from struggles over material things, revenue, to political power.
As those struggles exemplify interventions for “making live” and “not letting die” of the local population, this paper argues that both communities engaged in biopolitics countermovement directed to market and political forces threatening their means of livelihoods and even their life. However, while two communities succeeded in transforming inter-groups property relations within community, their political future would eventually necessitate the broader transformation of property relations between the state and the society.
Bhumi: Jurnal Ilmiah Pertanahan, 2012
Discourses and practices of agrarian reform as well as debates on agrarian studies are very dynam... more Discourses and practices of agrarian reform as well as debates on agrarian studies are very dynamic and continuously ramified as many perspectives developed along the way. To avoid oversimplification and unnuanced debate on agrarian reform and agrarian issues, it is very necessary to comprehend such dynamic and ramifications. For this purpose, this article offers a brief sketch on the development of agrarian reform and debates on agrarian studies since post-World War II to the present.
The World Development Report 2008 uses Indonesia as an illustrative case for what it calls ‘trans... more The World Development Report 2008 uses Indonesia as an illustrative case for what it calls ‘transforming countries’. The main argument of this paper is that the three pathways out of poverty (commercially-oriented entrepreneurial smallholder farming; rural non-farm enterprise development, and out-migration) prescribed by the Report should be theoretically and empirically questioned because of the possibility of a reverse consequence: the perpetuation of poverty in Indonesia.
Uploads
Journal Articles by Mohamad Shohibuddin
Berdasarkan uraian eksploratif tersebut, paper ini selanjutnya membedah kondisi agraria di Indonesia dewasa ini yang ditandai oleh ketimpangan dalam penguasaan struktur agraria, maraknya sengketa dan konflik agraria dengan tingkat keluasan dan kedalaman yang terus meningkat, dan kian dominannya politik agraria yang bias kepentingan pemodal. Pada saat yang sama, kondisi agraria semacam itu juga telah melumpuhkan basis-basis politik dan kekuatan produktif rakyat.
Problem struktural ini pada akhirnya telah menciptakan sistem perekonomian nasional yang keropos karena tidak ditopang oleh infrastruktur ekonomi yang kuat dan mandiri serta berpijak pada kekuatan-kekuatan produktif rakyat yang sejati. Oleh karena itu, paper ini menegaskan pentingnya revitalisasi perekonomian nasional melalui pembangunan pertanian dan pedesaan, yang dibingkai dalam suatu kebijakan reforma agraria. Pada bagian akhir paper ini disertakan beberapa agenda strategis bagi pelaksanaan reforma agraria dan program-programnya.
Kata kunci: Identitas komunitas adat; Kebijakan “tutup mata”; Perhutanan Sosial; Sosiologi pengetahuan
Intisari: Artikel ini, yang terdiri atas dua bagian, menawarkan dua kontribusi pada literatur mengenai ketimpangan agraria di Indonesia, yaitu pendekatan konseptual untuk bisa memahami gejala ini dan apa implikasinya terhadap penyusunan kebijakan. Kontribusi pertama telah dibahas pada Bagian 1 yang mencakup sintesis atas ragam aspek ketimpangan agraria dan pembedaan antara dua jenis ketimpangan agraria, yakni ketimpangan distribusi dan ketimpangan alokasi. Pada Bagian 2, kontribusi kedua dari artikel ini akan diulas secara mendalam. Pertama-tama, situasi ketimpangan agraria terkini di Indonesia, yang mencakup dua jenis ketimpangan di atas, akan dipaparkan. Selanjutnya, sebuah kerangka kebijakan yang komprehensif untuk memecahkan masalah ini akan dipromosikan dengan berdasarkan pada prinsip diskriminasi positif bagi kepentingan para produsen skala kecil. Dalam rangka ini, lima skema pembaruan tenurial berikut penting untuk diintegrasikan secara menyeluruh, yaitu: (re)distribusi, registrasi, rekognisi, devolusi, dan restitusi. Kata Kunci: ketimpangan distribusi, ketimpangan alokasi, diskriminasi positif, pembaruan tenurial yang komprehensif, Indonesia BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan
This article divided into two parts. Part 1 will focus on the first contribution (conceptual approach); meanwhile, the second contribution (policy formulation) will be further elaborated in Part 2.
Keywords: agrarian inequality, land reform, politics of agrarian resources allocation, Indonesia.
Law Number 6 of 2014 on Village-apart from its political contribution in democratizing state-village relation-has a fundamental limitation on natural resource issues in the village in the light of agrarian and ecological crises. This Law offers a minor elaboration on natural resource issues and provides limited authority to the village on this field, while no reference is made to the problem of inequality in community's access to local natural resources. Confronted with such structural challenges, it is argued that "struggle for village autonomy" will hardly lead to significant social transformation without involving attempts to establish just and sustainable natural resource regime. At the same time, "the struggle for social-ecological justice" will never emerge as village's collective agenda without attempts to deepen democracy within the village. Accordingly, this article offers "democratization of rural natural resource governance" as a strategic convergence between two previous struggles: "village autonomy" and "social-ecological justice". It is pursued through three inter-related agenda: strengthening village's authority concerning natural resource issues, democratizing socio-agrarian relations in the village, and addressing rural crises in order to revitalize productive forces in the village.
Keywords: village; rural natural resources; agrarian perspective; democratic governance
hak garap. Sertipikasi tanah yang mengunci hanya pada subyek hukum individu, badan hukum, dan desa, akan tidak tepat jika dipraktekkan pada konteks keberagaman tersebut. Oleh karena itu terhadap keberadaan
kepemilikan komunal di masyarakat penting dilakukan: (1) terobosan hukum yang mengakui tanah komunal dan menjangkau lebih luas di luar kerangka tanah ulayat, (2) memperluas kategori sumber daya bersama lainnya dalam arti milik umum (commons) dan bukan hanya tanah, serta dalam pengertian milik bersama (common property), (3) memperluas subyek hak bukan sekedar komunitas adat, namun juga desa, badan usaha petani, dan lain-lain.
sugar cane and bioethanol—which often involve land deals—usually turn out differently than originally envisaged. Implementation problems arise due to the competing
strategies and interests of investors, government departments, workers, landowners, and brokers, and due to specific historical and institutional constellations. Therefore, it can be argued that the implementation of investment schemes cannot simply be
understood as the implementation of a contract or an already-planned programme; it should rather be understood as a constant process of negotiation and adaptation. In such a context, the identification of critical junctures is crucial for the conduct of monitoring activities and the adoption of adaptive policies during land deal processes.
As those struggles exemplify interventions for “making live” and “not letting die” of the local population, this paper argues that both communities engaged in biopolitics countermovement directed to market and political forces threatening their means of livelihoods and even their life. However, while two communities succeeded in transforming inter-groups property relations within community, their political future would eventually necessitate the broader transformation of property relations between the state and the society.
Berdasarkan uraian eksploratif tersebut, paper ini selanjutnya membedah kondisi agraria di Indonesia dewasa ini yang ditandai oleh ketimpangan dalam penguasaan struktur agraria, maraknya sengketa dan konflik agraria dengan tingkat keluasan dan kedalaman yang terus meningkat, dan kian dominannya politik agraria yang bias kepentingan pemodal. Pada saat yang sama, kondisi agraria semacam itu juga telah melumpuhkan basis-basis politik dan kekuatan produktif rakyat.
Problem struktural ini pada akhirnya telah menciptakan sistem perekonomian nasional yang keropos karena tidak ditopang oleh infrastruktur ekonomi yang kuat dan mandiri serta berpijak pada kekuatan-kekuatan produktif rakyat yang sejati. Oleh karena itu, paper ini menegaskan pentingnya revitalisasi perekonomian nasional melalui pembangunan pertanian dan pedesaan, yang dibingkai dalam suatu kebijakan reforma agraria. Pada bagian akhir paper ini disertakan beberapa agenda strategis bagi pelaksanaan reforma agraria dan program-programnya.
Kata kunci: Identitas komunitas adat; Kebijakan “tutup mata”; Perhutanan Sosial; Sosiologi pengetahuan
Intisari: Artikel ini, yang terdiri atas dua bagian, menawarkan dua kontribusi pada literatur mengenai ketimpangan agraria di Indonesia, yaitu pendekatan konseptual untuk bisa memahami gejala ini dan apa implikasinya terhadap penyusunan kebijakan. Kontribusi pertama telah dibahas pada Bagian 1 yang mencakup sintesis atas ragam aspek ketimpangan agraria dan pembedaan antara dua jenis ketimpangan agraria, yakni ketimpangan distribusi dan ketimpangan alokasi. Pada Bagian 2, kontribusi kedua dari artikel ini akan diulas secara mendalam. Pertama-tama, situasi ketimpangan agraria terkini di Indonesia, yang mencakup dua jenis ketimpangan di atas, akan dipaparkan. Selanjutnya, sebuah kerangka kebijakan yang komprehensif untuk memecahkan masalah ini akan dipromosikan dengan berdasarkan pada prinsip diskriminasi positif bagi kepentingan para produsen skala kecil. Dalam rangka ini, lima skema pembaruan tenurial berikut penting untuk diintegrasikan secara menyeluruh, yaitu: (re)distribusi, registrasi, rekognisi, devolusi, dan restitusi. Kata Kunci: ketimpangan distribusi, ketimpangan alokasi, diskriminasi positif, pembaruan tenurial yang komprehensif, Indonesia BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan
This article divided into two parts. Part 1 will focus on the first contribution (conceptual approach); meanwhile, the second contribution (policy formulation) will be further elaborated in Part 2.
Keywords: agrarian inequality, land reform, politics of agrarian resources allocation, Indonesia.
Law Number 6 of 2014 on Village-apart from its political contribution in democratizing state-village relation-has a fundamental limitation on natural resource issues in the village in the light of agrarian and ecological crises. This Law offers a minor elaboration on natural resource issues and provides limited authority to the village on this field, while no reference is made to the problem of inequality in community's access to local natural resources. Confronted with such structural challenges, it is argued that "struggle for village autonomy" will hardly lead to significant social transformation without involving attempts to establish just and sustainable natural resource regime. At the same time, "the struggle for social-ecological justice" will never emerge as village's collective agenda without attempts to deepen democracy within the village. Accordingly, this article offers "democratization of rural natural resource governance" as a strategic convergence between two previous struggles: "village autonomy" and "social-ecological justice". It is pursued through three inter-related agenda: strengthening village's authority concerning natural resource issues, democratizing socio-agrarian relations in the village, and addressing rural crises in order to revitalize productive forces in the village.
Keywords: village; rural natural resources; agrarian perspective; democratic governance
hak garap. Sertipikasi tanah yang mengunci hanya pada subyek hukum individu, badan hukum, dan desa, akan tidak tepat jika dipraktekkan pada konteks keberagaman tersebut. Oleh karena itu terhadap keberadaan
kepemilikan komunal di masyarakat penting dilakukan: (1) terobosan hukum yang mengakui tanah komunal dan menjangkau lebih luas di luar kerangka tanah ulayat, (2) memperluas kategori sumber daya bersama lainnya dalam arti milik umum (commons) dan bukan hanya tanah, serta dalam pengertian milik bersama (common property), (3) memperluas subyek hak bukan sekedar komunitas adat, namun juga desa, badan usaha petani, dan lain-lain.
sugar cane and bioethanol—which often involve land deals—usually turn out differently than originally envisaged. Implementation problems arise due to the competing
strategies and interests of investors, government departments, workers, landowners, and brokers, and due to specific historical and institutional constellations. Therefore, it can be argued that the implementation of investment schemes cannot simply be
understood as the implementation of a contract or an already-planned programme; it should rather be understood as a constant process of negotiation and adaptation. In such a context, the identification of critical junctures is crucial for the conduct of monitoring activities and the adoption of adaptive policies during land deal processes.
As those struggles exemplify interventions for “making live” and “not letting die” of the local population, this paper argues that both communities engaged in biopolitics countermovement directed to market and political forces threatening their means of livelihoods and even their life. However, while two communities succeeded in transforming inter-groups property relations within community, their political future would eventually necessitate the broader transformation of property relations between the state and the society.
Persoalan agraria yang harus dipedulikan juga oleh agama ini pada dasarnya berkenaan dengan corak relasi sosial yang berlangsung di antara berbagai pihak dalam hal penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan atas sumber-sumber agraria (SSA) untuk menghasilkan berbagai produk yang menjadi kebutuhan umat manusia, seperti pangan, sandang, papan, energi, mineral, dan sebagainya. Dalam kaitan ini, apa yang harus disadari dan selanjutnya mesti menjadi bagian dari panggilan keberpihakan keagamaan adalah kenyataan bahwa berbagai relasi sosio-agraria yang terjadi di masyarakat ternyata lebih sering dicirikan oleh situasi ketidakpastian, ketimpangan dan ketidakadilan. Hal ini menuntut dua jenis perjuangan sosial untuk mewujudkan keadilan agraria yang harus dilaksanakan secara simultan, yaitu "perjuangan akses" dan "perjuangan kontra-eksklusi".
Tulisan yang semula merupakan khutbah Jum'ah ini menegaskan bahwa respons terhadap berbagai bentuk persoalan agraria melalui dua jenis perjuangan sosial tersebut harus disadari sebagai sebuah panggilan teologis bagi umat Islam. Hal ini didasarkan pada analisis atas sejumlah ayat al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad SAW yang memang menggariskan demikian. Selain itu, juga didasarkan pada preseden praktik yang dilakukan para shahabat Nabi serta ijtihad fikih yang dikeluarkan oleh para Imam Madzhab.
Ketiga hal inilah yang sering beliau nyatakan sebagai amanat dasar dari UUPA.
Sejalan dengan tujuan tersebut, tulisan ini memusatkan kajiannya pada problem riset berikut ini: "Apabila PKSDA merupakan suatu inovasi kelembagaan dalam rangka mengatur bagaimana sumber daya alam dikelola dan dimanfaatkan, sejauh manakah inovasi ini ditopang oleh—dan sekaligus mengumpan balik—proses-proses co-adaptation yang sepadan pada komponen-komponen sistem sosial lainnya?" Atau, dinyatakan secara lebih problematis: "Sejauh manakah PKSDA ini mendorong proses co-adaptation—atau sebaliknya, justru mal-adaptasi—di antara berbagai sub-sistem sosial lainnya?"
Berdasarkan problem riset di atas, tiga level analisis akan dilakukan sebagaimana terangkum dalam tiga pertanyaan berikut ini:
1. Sejauh mana PKSDA dalam bentuk kesepakatan konservasi berbasis adat berkontribusi pada demokratisasi relasi negara-desa dalam tata kelola sumber daya alam?
2. Sejauh mana pula ia berkontribusi pada demokratisasi relasi-relasi di internal dan antar-komunitas dalam tata kelola sumber daya alam, khususnya menyangkut jaminan akses warga secara ekonomi dan politik terhadap sumber daya alam?
3. Dihadapkan pada dinamika adaptasi di kedua level tersebut, bagaimanakah tantangan dan prospek keberlanjutan kesepakatan konservasi berbasis adat ini?
Dengan membandingkan ketiga kasus devolusi di atas, tulisan ini menunjukkan bahwa ketiga kasus tersebut pada dasarnya merupakan "devolusi yang dikontestasikan" di mana akses dan kontrol atas sumberdaya hutan dan penarikan manfaat darinya secara aktual merupakan sesuatu yang dibentuk (ulang) dalam proses interaksi dan negosiasi di antara komunitas dengan negara di satu sisi, dan di antara keIompok-kelompok dalam masyarakat sendiri di sisi yang berbeda.
Untuk itu, paper ini diawali dengan uraian mengenai pelaksanaan reforma agraria pada masa lalu dan sejauh mana capaian yang dihasilkannya; persoalan struktural yang dihadapi bangsa Indonesia yang membuat urgensi pelaksanaan reforma agraria terus mengemuka hingga saat ini; dan bagaimana proses kebijakan yang berlangsung untuk merevitalisasi agenda reforma agraria ini, termasuk perangkat kelembagaannya.
Selanjutnya paper ini menguraikan kerangka kebijakan dan perencanaan kegiatan reforma agraria yang telah dipersiapkan oleh pemerintah, dalam hal ini oleh Badan Pertanahan Nasional di bawah kepemimpinan Joyo Winoto. Hal ini mencakup penentuan obyek, subyek, mekanisme dan delivery system, hingga pengembangan acces reform.
Akhirnya pada bagian penutup paper ini mengajukan beberapa isu kunci yang perlu dicermati karena sangat menentukan berhasil-tidaknya pelaksanaan program reforma agraria.
Tulisan pengantar ini selanjutnya mengupas lebih rinci dimensi-dimensi yang terkait dengan penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber agraria, yakni dimensi ketiga hingga kelima. Pada bagian terakhir tulisan ini menawarkan metodologi untuk mengidentifikasi empat dimensi kerentanan sosial-ekonomi (socio-economic insecurity) sebagai suatu "denominator umum" untuk mencirikan relasi-relasi sosio-agraria yang amat menentukan kondisi kemakmuran dan kemiskinan masyarakat adat.
Jilid kedua ini memfokuskan pada figur yang banyak memberi inspirasi pada upaya-upaya memahami, membongkar, dan sekaligus mengoreksi aneka bentuk ketidakadilan agraria di Indonesia: Gunawan Wiradi alias GWR.
Dalam buku ini, GWR menyampaikan refleksi personal atas perjalanan hidupnya dalam memperjuangkan agenda reforma agraria. Peranan penting GWR dalam perjuangan agenda ini tercermin dalam testimoni lintas generasi yang dicantumkan dalam buku ini.
Beberapa tulisan lain berupaya mengembangkan labih lanjut inspirasi GWR dengan menjelajahi berbagai jalan abru perjuangan keadilan agraria. Tidak kalah menarik, bagian terakhir buku ini berisi persembahan karya-karya sastra (prosa dan puisi) yang mengekspresikan aneka bentuk pergulatan agraria yang terus dialami rakyat pedesaan di negeri ini.
Buku ini memuat rekaman proses dan hasil pelaksanaan Diskusi Ahli mengenai “Pengaturan atas Tanah Kolektif, Tanah Komunal dan Tanah Ulayat” yang berlangsung di Jakarta, 24 Oktober 2018. Acara Diskusi Ahli ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Agraria, Institut Pertanian Bogor (PSA IPB) bekerja sama dengan Sekretariat Reforma Agraria-Perhutanan Sosial yang berada di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Republik Indonesia.
Selain itu, fase formatif yang singkat itu juga menyediakan jendela untuk menelisik lebih dalam "kemungkinan-kemungkinan konjungtural" yang tersedia dan sekaligus "batas-batas struktural" yang menghadang para aktor reformis di tubuh negara maupun kalangan gerakan sosial—dalam proses "kolaborasi kritis" keduanya di sepanjang perjalanan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di tanah air.
Buku ini disunting oleh M. Shohibuddin dan M. Nazir Salim dengan Kata Pengantar oleh Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, Prolog oleh Dr. Soeryo Adiwibowo, dan Epilog oleh Dr. Noer Fauzi Rachman.
Kelompok masyarakat sipil Indonesia mengusulkan tiga ranah perubahan sebagai cara untuk mereformasi kebijakan penguasaan tanah dan hutan. Ketiganya adalah: (1) Perbaikan kebijakan dan percepatan proses pengukuhan kawasan hutan; (2) Penyelesaian konflik kehutanan; (3) Perluasan wilayah kelola rakyat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya.
Meski demikian, nun di sebuah desa di sudut tenggara Jawa Tengah, sebuah inovasi menarik di bawah kepemimpinan lokal pernah dilakukan pada 1947-1964. Memaknai ulang sistem tanah komunal yang pernah dikenal, komunitas desa ini berprakarsa menjalankan program redistribusi tanah sawah dan perluasan lahan kering di desa sehingga semua warga desa akhirnya memiliki akses atas tanah. Selain itu, larangan jual-beli dan penyakapan tanah ditegakkan dengan keras, sedangkan hubungan tenaga kerja dilakukan melalui tukar-menukar tenaga seraya menghindari segala bentuk patronase maupun subordinasi.
Keberhasilan inovasi lokal ini, setelah pernah ditulis oleh Gunawan Wiradi pada tahun 1960 untuk karya skripsinya, dicoba disuarakan kembali dalam buku ini. Pengarang buku ini mencoba memaknai peristiwa lokal itu dalam konteks kekinian, seraya berargumen bahwa "retradisionalisasi" tidak harus selalu berarti kembali ke "masa lampau" dan "feodalisme". Dilakukan dengan semangat "keadilan sosial", melalui kombinasi "revitalisasi" dan "reinterpretasi" norma hukum adat, komunitas desa Ngandagan telah mencontohkan bagaimana "retradisionalisasi" bisa menjadi mekanisme untuk mewujudkan land reform. Dalam arti demikian, komunitas Ngandagan telah berhasil memberikan jawaban atas problem agraria yang dialami rakyat pasca kemerdekaan (yang negara tidak mampu melakukannya saat itu); tragisnya, untuk kemudian dijungkirbalikkan sama sekali pasca peristiwa "tragedi 1965".
Pengantar yang ditulis oleh Prof. Ben White menjelaskan secara jernih di mana posisi studi-studi SAE tersebut, baik dari segi teoritis dalam konteks perdebatan akademis mengenai tanah, tenaga kerja dan pembentukan kelas; maupun dari segi kebijakan dalam konteks perdebatan mengenai relevansi land reform dan posisi ilmuwan sosial Indonesia dalam pembangunan pedesaan dan kesejahteraan masyarakat. Laporan studi-studi SAE tersebut, oleh karena itu, masih tetap relevan sampai sekarang karena berbagai masalah yang diungkapkannya merupakan masalah kronis dan persisten yang sampai kini pun masih dihadapi oleh bangsa ini."
Sebagai endapan perjalanan akademik GWR selama lebih dari empat dekade, buku ini merupakan kristalisasi pengalaman panjang mengenai bagaimana melakukan penelitian agraria yang "baik" dan bersemangat "vokasional"; alih-alih sekedar uraian teknis dan teoritis yang kering dan menjemukan.
“Gunawan Wiradi has been able to assemble his enormous accumulated experience of more than 40 years research on agrarian issues, in this book on methodology of agrarian research...." (Ben White, Institute of Social Studies The Hague)
Kesimpulan buku ini menekankan bahwa anggapan masyarakat setempat adalah ancaman utama terhadap keutuhan kawasan konservasi tidaklah selalu tepat, dan dalam banyak kasus ancaman itu justru berasal dari institusi pemerintah sendiri baik di aras pusat maupun daerah otonom.
Oleh karena itu, cara pandang dan paradigma mengenai penyebab degradasi hutan maupun model pengelolaan kawasan konservasi haruslah dirubah.
Tulisan ini adalah sketsa sederhana untuk sekedar menyajikan sekelumit "peta navigasi" mengenai reforma agraria dan studi agraria. Dalam peta ini selain hendak didudukkan lebih jelas perbedaan reforma agraria dan studi agraria, juga akan didedahkan lebih rinci bagaimana perkembangan konseptualisasi dan praktik mengenai keduanya hingga saat ini dengan berbagai variasinya. Diharapkan dengan begitu diskusi yang lebih produktif dan bernuansa mengenai RA akan dapat berkembang lebih baik lagi. Sebagai sketsa sederhana, tentu saja apa yang disajikan di sini bukanlah sebuah peta yang exhaustive, melainkan sekedar menampilkan isu dan kecenderungan yang dianggap penting.
Two points are raised in this reflection, which can be termed as agrarian and environmental justice issues. These two issues intertwined each other and they are becoming more precarious in current situation. Unfortunately, these two issues—due to certain historical trauma—tend to be ignored by pesantren community.
Keywords: agrarian justice, environmental justice, teak forest ecosystem, pesantren"
Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/572346/mudik-agraria
Oleh karena itu, pembahasan apapun mengenai wacana dan praktik Islam Nusantara—dan demikian pula, kritisisme apapun terhadapnya—seharusnya mengindahkan dua wajah dari Islam Nusantara ini tanpa terkecuali.
Apakah kebijakan korporasi petani ini tidak akan mengulang kebijakan konsolidasi petani dalam bentuk gapoktan atau BUMP yang cenderung bias petani kaya dan elit desa? Lantas, bagaimanakah mengembangkan korporasi petani yang justru memihak kepentingan petani gurem, kecil dan menengah?
"Wakaf agraria" (Shohibuddin 2019) sesungguhnya dapat menjadi skema alternatif untuk melakukan konsolidasi lahan pertanian dan mengembangkan korporasi petani dengan sasaran utama lapisan bawah dan menengah smallholders, sekaligus pada saat yang sama menjamin lahan pertanian pangan yang berkelanjutan.
Presentasi ini menekankan pentingnya memikirkan rezim land tenure alternatif untuk mengatasi keempat tantangan di atas. Untuk itu, beberapa best practices dari inisiatif lokal diajukan sebagai pembelajaran. Selanjutnya, presentasi ini mengajukan wakaf sebagai terobosan keagamaan untuk menjalankan reforma agraria yang komprehensif dan berkelanjutan. Lebih lanjut, presentasi ini juga mengidentifikasi tujuh jalur pewakafan yang berpotensi besar untuk diperuntukkan bagi pelaksanaan agenda reforma agraria.
Lessons learned dari kesemua inovasi lokal ini adalah: kesemua pembaruan tenurial yang dilakukan oleh komunitas bersifat integratif (yakni mengombinasikan beragam skema reform) dan sekaligus komprehensif (mencakup tata kuasa, tata guna dan tata produksi sekaligus).
Meskipun berangkat dari kasus-kasus spesifik, namun pembelajaran dari berbagai inisiatif lokal ini sesungguhnya dapat didorong untuk dijalankan pada level yang lebih luas, misalnya di unit kabupaten (sebagaimana diupayakan oleh Pemda Sigi). Bagian akhir presentasi ini mendiskusikan hal ini dan sekaligus menyajikan beberapa kriteria yang harus diindahkan agar upaya pembaruan tenurial ini dapat menghasilkan reform dalam arti yang sebenarnya.
Pertama, dengan menyorotinya dari bagaimana perspektif konstitusi menggariskan politik agraria dan tata pengurusan agraria nasional.
Kedua, dengan memperlihatkan berbagai praktik ketidakadilan dalam politik alokasi sumber-sumber agraria dan konsekuensinya pada struktur agraria dan transformasi lansekap pedesaan.
Ketiga, dengan mengajukan spektrum pembaruan tenurial yang lebih luas, kriteria evaluasinya serta urgensi gerakan sosial dalam mengupayakan perwujudannya.
Keempat, dengan mengusulkan skema hak atas tanah yang lebih beragam dan sekaligus terintegrasi dengan ragam bentuk tata guna lahan dan tata produksi. Pada bagian ini juga diusulkan skema wakaf untuk mewujudkan the commons dan pembaruan tenurial yang komprehensif.
Ceramah ini semula adalah presentasi untuk Konferensi Reforma Agraria di Semarang pada tanggal 12 September 2018 yang diselenggarakan oleh Jaringan Masyarakat Sipil Jawa Tengah.
Dalam paparan ini juga disertakan refleksi dan gagasan penulis terkait tantangan transformasi agraria di Indonesia.
Proses semacam ini telah membawa dinamika kultural masyarakat Toro ini pada dilemanya sendiri, yakni ketika ia menampiikan konstruksi identitas yang bersifat monolitis dan eksklusif. Konstruksi semacam ini terejawantah melalui klaim keunikan identitas lokal yang dikukuhkan oleh piagam mitologis; penegasan atas kesatuan identitas dan teritori yang restrikstif yang dijastifikasi oleh mitos etnogoni; serta melalui konstruksi "liyan" dalam relasi-relasi intra- dan inter-kornunitas terutama menyangkut kelompok sosial atau konstruksi identitas yang diabaikan dan tidak dipertimbangkan.
Di di atas semua itu, tantangan perdamaian paling besar di daerah ini adalah adanya tuntutan pemisahan lima kabupaten di Dataran Tinggi Gayo dan Leuser untuk membentuk propinsi tersendiri yang bernama Propinsi Aceh Leuser Antara (ALA). Tuntutan ini tentu akan meruntuhkan konsensus yang ada di Aceh saat ini mengenai masa depan Aceh (sebagaimana termuat dalam RUU PA usulan DPRD Aceh), dan pada gilirannya bisa mengancam proses perdamaian itu sendiri yang didasarkan atas premis mengenai teritori tunggal.
Tulisan ini ingin membahas lebih detail bagaimana dinamika lokal di daerah pegunungan penghasil kopi terkenal ini terkait dengan proses perdamaian, dinamika reintegrasi dan artikulasi “wacana keberbedaan” yang mendasari tuntutan pemisahan Propinsi ALA; dan bagaimana tantangan yang dikedepankan oleh kesemuanya ini terhadap keberlanjutan proses perdamaian di Aceh.
1. Ketidakpastian hak pada penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria yang selama ini dikelola masyarakat (disebut tenure insecurity).
2. Keterbatasan dan bahkan ketiadaan penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria di tangan masyarakat (disebut ketimpangan agraria atau agrarian inequality).
3. Ketidakadilan pada tata ruang dan tata guna tanah yang lebih sering bias kepentingan korporasi dan urban ketimbang kepentingan rakyat kecil dan masyarakat petani di pedesaan.
4. Ketidakadilan dalam relasi perburuhan dan dalam distribusi surplus yang terdapat pada sistem produksi tertentu.
... apa yang harus disadari dan selanjutnya mesti menjadi bagian dari panggilan keberpihakan keagamaan adalah kenyataan bahwa berbagai relasi sosio-agraria di atas sering dicirikan oleh situasi ketidakpastian, ketimpangan dan ketidakadilan."