
A.P. Edi Atmaja
Penyuka buku dan radio, sesekali menulis untuk senang-senang
Supervisors: Rahayu, Elfia Farida, Agus Pramono, Anna Erliyana, Dian Puji N. Simatupang, and Yu Un Oppusunggu
Address: Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 31, Jakarta Pusat 10210
Supervisors: Rahayu, Elfia Farida, Agus Pramono, Anna Erliyana, Dian Puji N. Simatupang, and Yu Un Oppusunggu
Address: Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 31, Jakarta Pusat 10210
less
Related Authors
Victory Cindy
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Maylia Pramono Sari
Universitas Negeri Semarang (UNNES) Semarang Indonesia
Dito Aditia Darma Nasution
Universitas Pembangunan Pancabudi
Uploads
Esai by A.P. Edi Atmaja
Apa yang disajikan di sini adalah hasil tulisan dari “Simposium Pusat Kajian One Piece” yang diselenggarakan oleh Komunitas Payung & Komunitas Kalamkopi pada 9 dan 13 Juni 2020 lalu. Total terkumpul 10 tulisan yang terbentang dari berbagai topik. Meskipun niat awal dari simposium ini adalah untuk menghindar sejenak dari pembahasan rapat daring yang bikin dahi berkerut, tapi apa daya, ternyata tulisan-tulisan yang dikirimkan juga tidak kalah serius.
Prosiding ini dibuka oleh A.P. Edi Atmaja yang dengan jeli melihat antara pertemuan tradisi dan ilmu pengetahuan dari perjumpaan Noland dengan Kalgara. Lalu ada Kelvin yang dengan cantik memotret diskriminasi yang dialami oleh manusia ikan yang dalam semesta One Piece adalah warga “kelas dua”. Ghofar, yang kebetulan juga aktivis Walhi, dengan apik memaparkan soal krisis ekologi yang bertautan dengan struktur sosial dalam setting kekuasaan totaliter-monopolistik dari Kaido dan Orochi. Rian Adhivira dan Albertus Argayuda memberikan penekanan bahwa kekuasaan tidak hanya diperoleh dan dilanggengkan dengan pentungan saja, namun juga penguasaan atas sejarah. Keduanya memberikan contoh atas peristiwa di Dressrosa dan tentu saja, Ohara.
Dalam simposium ini, ada juga fanboy yang mengirimkan pembahasan khusus akan karakter yang disukainya. Rasyid berbicara soal kehendak bebas Zoro, tokoh yang paling sering “tersesat”. Ada juga pembahasan tentang Kozuki Oden sebagai padanan dari Ishikawa Goemon di Jepang dengan isu utama soal redistribusi ala Robin Hood. Penjelasan tentang Oden itu disampaikan oleh Hang Tuah.
Romi Maulana secara unik mengamati soal hukuman mati di One Piece. Alih-alih berfungsi untuk memamerkan kengerian agar para penjahat jera, namun pada kenyataannya hukuman mati justru menjadi pemantik era bajak laut. Prosiding ini ditutup dengan teropong Saiful Anwar yang mencoba menguliti anasir Marxisme dalam One Piece. Marxisme dalam One Piece atau perspektif One Piece dalam Marxisme? Entahlah, tapi bisa dikatakan kalau tulisan Anwar adalah yang paling serius di antara yang lain. Selain itu, ada pula tulisan Gerry yang dengan cukup lihai mampu memblejeti tiap tulisan yang hadir dalam diskusi daring kemarin. Alhasil tulisan Gerry menjadi semacam epilog yang tidak hanya merekam masing-masing tulisan. Namun juga menyodorkan sebuah ulasan ciamik.
Dan terakhir, sambil menunggu Luffy menyelesaikan petualangannya, kami pikir semua pasti sepakat kalau genosida di Ohara, manipulasi Doflamingo, penguasaan monopolistik Kaido, hingga diskriminasi manusia Ikan adalah hal yang tidak dapat dibenarkan. Mari kita dukung Luffy dengan menjadi bagian untuk mengakhiri penindasan macam itu. Selamat membaca!